SAPAAN PENGASUH


Selamat bertemu buat para pembaca dan pengunjung blog ini. Kiranya Tuhan kita Yesus Kristus, yang memanggil kita semua kepada kesempurnaan hidup dalam Bapa dan kekayaan rohani dalam KerajaanNya menganugerahkan kegembiraan dan kesuksesan dalam hidup, pelayanan dan keseharianmu.

Anda mengunjungi blog RETRET & REKOLEKSI PASTOR UDIK. Saya suka nama itu, bukan saja karena karya pastoral awal saya sebagai imam, saya lewati sambil mengunjungi berbagai kampung yang sering dicap udik alias kurang maju, tetapi juga karena mengingatkan saya, akan Yesus dari Nasareth, pastor dan gembala sejati yang para muridnya adalah orang-orang sederhana, udik dan marginal.

Apa ada persamaan di antara kita yang mengunjungi blog ini dengan para murid Yesus itu? Saya kira ada dan hal itu adalah kesediaan kita untuk duduk sambil mendengarkan DIA, sang Guru Rohani, Maestro Kehidupan yang tengah bersabda kepada kita.

Selamat menikmati sajian di blog sederhana ini. Selamat menarik diri dari keseharianmu dan menikmati detik-detik berharga berada sang Guru, Pastor dan Gembala dari udik, mulai dari Nasareth hingga ke kampung dan dusun udik pengalaman kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita.

Ansel Meo SVD

Selasa, November 29, 2011

44.BERSYUKUR ATAS KASIH TAK BERKESUDAHAN SEBUAH GEREJA RUMAH

Homili pada kesempatan Perayaan HUT 40 Perkawinan Bapak Aleks dan Ibu Tien Ebo Resi di Kupang pada tanggal 11 Nopember 2011, pukul 18.00 witeng.
Bacaan :
1 Kor. 13, 1-13 dan Mrk. 12, 28-34
Apakah sesungguhnya alasan bahwa soreh hari ini kita semua datang dari segala arah, dari segala suku bangsa bersama bersyukur di tempat ini bersama keluarga pak Aleks dan Ibu Tien Ebo Resi? Apakah karena hubungan khusus antara kita dengan keluarga ini? Ataukah karena alasan ini bahwa perkawinan mereka telah dimaknai secara istimewa selama ziarah bersama Allah mereka selama 40 Tahun?
Perkawinan Orang Beriman Bermakna Penting
Saya kira alasan mendasarnya ialah bahwa perkawinan keduanya bermakna penting, baik karena merupakan persekutuan penuh komitmen seluruh hidup mereka maupun karena perkawinan mereka seperti halnya semua perkawinan orang beriman sesungguhnya melambangkan persekutuan antara Kristus dan GerejaNya. Untuk alasan seperti inilah, saya membawakan kotbah ini.

Kasih dan hakikatnya dalam Kitab Suci
Pak Aleks dan ibu Tien bersama anak-anak; bapak, ibu, saudara/i; rekan-rekan umat Allah yang saya kasihi dalam Kristus.
Saya coba mereka-reka, mengapa teks bacaan pada HUT 40 pernikahan kedua orang yang kita kenal ini bertema sentral kasih? Saya tidak tanya siapakah yang pilih teks-teks ini, tetapi coba menduga hubungan antara pilihan teks ini dengan hidup serta kesaksian hidup keluarga ini.
Kita pasti tahu sangat baik bahwa dialog naratip dalam Injil Markus tadi terjadi di halaman kenisah ketika Yesus didekati oleh para pemimpin agama dan pemimpin politis dan mereka menantang Dia dengan pertanyaan sekitar otoritas dan kuasa.
Namun nada cerita dalam penggalan Injil yang kita dengar tadi sesungguhnya tidak kontroversial. Yang kita rasakan adalah bagaimana seorang beriman yang saleh mendekati Yesus dan mencari tahu kebenaran dari seorang yang dia kagumi. Nada yang sangat positif kita rasakan di sini.
Walaupun demikian, ada hal fundamental yang ditampilkan di sini, dan persis hal itulah yang menggerakkan orang ini untuk bertanya. “Manakah hukum utama dari sekian banyak hukum dan peraturan yang ada dalam agama Yahudi? Kami memang tahu bahwa ada 613 perintah, di antaranya 248 bernada perintah positip dan sisanya ada 365 larangan. Tetapi dari semua ini, mana yang utama yang kiranya menadi parameter dari semua perintah dan yang bisa dijadikan dasar interpretasi dari semua hukum yang lain itu?”
Pertanyaan cerdik tapi tulus ini ditanggapi Yesus. Dengan rumusan Shema orang Israel, yang menjadi semacam Credonya orang Yahudi, Yesus berkata, “Dengarlah hai Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.” Kasihilah Tuhan Allahmu [...] Kasihilah sesamamu manusia […] (Mrk. 12, 29-31).
Yesus tidak hanya menyatakan tentang kasih sebagai perintah utama dan mendasar di sini, tetapi lebih dari itu, Yesus menekankan tentang keesaan Allah, tentang hakekat Allah yang satu. Dan hal ini sesungguhnya yang selalu diperdengarkan dan diulangi orang Israel pada setiap kesempatan doa pagi orang Israel yang baik.
Lalu bagaimana wujud kasih yang benar itu dalam keseharian orang beriman? St. Paulus melalui bacaan pertama dalam suratnya kepada jemaat Korintus merangkaikan isi dan hakikat kasih itu secara sangat indah. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan, dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. […] Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. (Dan kasih yang demikian) tidak berkesudahan.” (1 Kor 13, 4-8).
Kasih sperti inilah yang bukan hanya diajarkan serta diwariskan kepada orang beriman Kristen oleh Yesus Guru dan Tuhan kita, tetapi lebih lagi Ia memeteraikannya dengan seluruh hidup, dengan persembahan diriNya kepada Allah. Karena itu, bagi kita orang beriman akan Yesus, kasih dan mengasihi bukan cuma merupakan identitas dan tanda pengenal kita, tetapi juga adalah suatu tugas, suatu misi perutusan yang harus kita jalankan.
Persis inilah yang sedang kita rayakan. Yang kita syukuri bersama pada soreh hari ini ialah Kasih yang Tak Berkesudahan yakni Allah sendiri. Dan Allah kita merahmati pasangan nikah ini selama 40 tahun untuk menyaksikan kepada dunia bahwa bersama Allah, manusia sesungguhnya bisa mewujudkan kasih tak berkesudahan.
Lebih dari itu kita juga mensyukuri keesaan Allah kita yang disimbolkan secara sangat kaya dalam kesatuan keluarga Kristen Aleks dan Tien, dan bersama mereka kita sebenarnya bersukacita karena misi perutusan keluarga untuk menghidupkan kasih dengan ciri-ciri di atas, ternyata bisa dijalankan dengan berkat dan penyertaan Allah.
Syukuran Kasih sebuah Gereja Rumah Tangga
Pak Aleks, ibu Tien, anak-anak dan cucu; Ibu, Bapak, Saudari dan Saudara yang saya kasihi dalam Tuhan.
Setelah mengutip dan menjelaskan bacaan Kitab Suci hari ini, apakah yang dapat saya ungkapkan tentang peristiwa yang kita rayakan bersama keluarga ini pak Aleks dan ibu Tien? Merayakan Hari Ulang Tahun ke - 40 dari Perkawinanmu berdua dengan kehadiran penuh berkat dari anak dan cucumu, tentu berarti sangat banyak, bukan hanya untuk pak Aleks dan ibu Tien serta anak dan cucu mereka; tetapi juga berarti bagi kita semua sebagai Gereja.
Dalam ungkapan sangat sederhana syering saya ini saya ingin mengajak kita bersyukur dan memberikan apresiasi kepada keluarga ini dan kepada semua keluarga beriman, yang telah berusaha dan bisa menjadi Gereja dalam arti yang sebenar-benarnya.
1.      Dengan menjadikan keluarga sebagai sakramen, keluarga membaharui Gereja dan masyarakat
Saya coba bertanya dan cari tahu dari sumber terpercaya tentang keluarga ini. Darinya saya dapat pernyataan ini, “mereka dua itu saling setia dan saling mencintai, Pater.” Keduanya adalah perpaduan antara Aleks yang tenang dan Tien yang hidup.” Dan saya amini ceritanya, “Benar juga, itulah yang saya lihat, saya rasakan dari kontak bersama keduanya dan kontak dengan anak-anak mereka.”
Mengapa itu menjadi karakter hidupmu? Saya kira karena kalian sadar bahwa bapak dan ibu, keluarga sungguh adalah satu sakramen. Sebagai alat atau sakramen di tangan Allah, kalian bisa menjadi sakramen kehadiran Allah dan karenanya menjadi tanda yang paling efektip dari peristiwa Yesus Kristus.  
Dalam keluarga terutama lewat rahim ibu, anak bisa mengalami pertama kali sifat Allah yang rahim, berbagi hidup dan nyaman dalam perlindungan Allah. Keluargalah yang hidupkan wafat dan kebangkitan Kristus setiap hari, da memberikan kesaksian kepada Gereja bagaimana merayakan „sakramen-sakramen“ dalam hidup mereka, dan bagaimana mereka menjadi sakramen yang menyelamatkan satu bagi yang lain.
Karena kehadiran sakramental inilah, keluarga memang bisa mempengaruhi bahkan membaharui masyarakatnya.
2.      Bapa dan Ibu Keluarga sebagai Gembala pertama dan utama yang menjadikan kasih sebagai warisan yang menghidupkan anak dan masyakarat.
Kepada siapakah gelar gembala pertama diberikan dalam Kitab Suci? Kepada imam dan biarawan/ti? Tidak. Gelar ini diberikan pertama kali kepada awam dan di antara mereka adalah pasangan suami isteri. Ingat Yakub dan Rahel, pasangan gembala Israel yang saling jatuh cinta pada oandangan pertama, justru ketika mau timba air untuk domba-domba gembalaan mereka. Lalu David dan Abigail, pasangan gembala yang Daud menjadi raja Israel dan Abigail (satu dari 6 isteri Daud) yang cantik dan di atas segalanya seorang isteri yang bijak.
Entah sadar atau tidak pak Aleks dan Ibu Tien dan tentu juga keluarga-keluarga kita sebenarnya adalah gembala sejati dalam pergulatan hidupmu. Keberanianmu untuk syeringkan hidup yang keras, menantang di pergulatan keseharian adalah kekhasan gembala. Kerelaan untuk berbagi makanan, memberikan perlindungan dan hidup, berjalan di depan dan di belakang di tengah keluarga, di masyarakat, sungguh khas seorang gembala. Kegagalanmu untuk memuaskan dahaga dan menghidupkan anak-anakmu juga adalah pergulatan keseharian para gembala.
Untungnya, model kegembalaanmu sama seperti dalam gereja kita temukan dalam Kristus yang mengasihi kita, dan memberikan nyawaNya bagi domba gembalaannya, seperti kalian telah menumpahkan darah dan keringat bagi anak dan bagi masyarakat yang kalian abdi.
3.      Keesaan, kesatuan keluarga mencerminkan penghormatan kepada keesaan Allah.
Dan yang ketiga, syukur kepada Allah yang menjadikan perkawinanmu sebagai perkawinan yang satu dan tak terceraikan, karena Allah kita adalah Allah yang esa, Allah yang satu. Ingatlah, Tuhan Allah kita esa, kata Yesus dalam Injil tadi. Sebuah pengakuan iman yang diwariskanNya kepada kita, yang menyata dalam ikatan yang tak terceraikan sakramen Perkawinan. Kesatuanmu mengajak kita semua hari ini, bahwa kendatipun segala perbedaan, segala jatuh dan bangun, selalulah kembali kepada Tuhan melaporkan pasanganmu dan keluargamu, „Tuhan, ternyata sama seperti Engkau satu, kami ini juga SATU. Dan SATU yang demikian adalah KASIH yang TAK PERNAH BERKESUDAHAN.
Profisiat dan Selamat HUT ke 40. Tuhan memberkati dan menyertai tahapan lanjut ziarahmu bersama Dia. Amin.
Copyright @ Ledalero 10 Nopember 2011, by Ansel Meo SVD

Selasa, Juni 08, 2010

43. KEMBALI KE ASAL

Bagi mereka yang sering berada di tanah rantau, baik karena alasan kerja, studi maupun karena berbagai alasan lainnya, keinginan untuk pulang kampung atau kembali ke tempat asal adalah sebuah keinginan dan kerinduan yang syah. Saat pulang kampung seperti itu menjadi kesempatan bukan hanya untuk bernostalgia tentang masa lalunya di tempat asalnya, tetapi lebih dari itu merupakan saat untuk menimba kekuatan, semangat serta daya baru untuk hidupnya.

Bagi mereka yang sering berada di tanah rantau, baik karena alasan kerja, studi maupun karena berbagai alasan lainnya, keinginan untuk pulang kampung atau kembali ke tempat asal adalah sebuah keinginan dan kerinduan yang syah. Saat pulang kampung seperti itu menjadi kesempatan bukan hanya untuk bernostalgia tentang masa lalunya di tempat asalnya, tetapi lebih dari itu merupakan saat untuk menimba kekuatan, semangat serta daya baru untuk hidupnya.

Sabda Yesus yang kita baca pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus mengajak kita untuk kembali ke asal kita. Yesus dalam wejangan perpisahanNya dengan para muridNya menunjukkan kepada kita tentang kesatuan Allah dalam Tiga Pribadi: Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Ia bersabda, “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu kepada seluruh kebenaran. […] Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku (Putera) punya. Sebab itu Aku berkata: Ia (Roh Kudus) akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku.” (Yohanes 16, 12-15)

Ajakan saya untuk kembali ke asal sebenarnya adalah penegasan untuk bersama Gereja beriman akan Allah Tritunggal, Allah yang Satu dalam Tiga Pribadi, Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

Bagi kebanyakan orang, barangkali ajaran tentang Allah Tritunggal ini adalah satu ajaran yang sulit dipahami dan boleh jadi juga menjadi halangan dalam beriman. Mungkin orang bertanya, mengapa harus percaya akan Allah yang Satu tetapi menyatakan diri dalam Tiga Pribadi? Bukankah akan lebih mudah percaya akan seorang Allah yang satu, titik, sebagaimana halnya saudara/i yang muslim dan beragama Yahudi.

Terhadap pertanyaan macam ini, jawabannya sederhana saja. Kita sebagai Gereja percaya akan Allah Tritunggal, bukan karena membuat kompleks persoalan, tetapi karena kebenaran tentang Allah Tritunggal dinyatakan sendiri oleh Yesus Kristus. Dan jika Kristuslah yang menyatakannya, maka ajaran yang demikian tidak mungkin untuk menghancurkan umat beriman. Kesulitan orang untuk memahami ajaran tentang Trinitas, justru menjadi argumen yang menopang kebenaran ini, dan bukan melawannya. Kalau begitu, apa alasannya sehingga kita bisa memahami kebenaran ini menurut cara pandang yang lebih sederhana, dalam pemahaman kita sehari-hari?

Ada dua alasan yang bisa saya kemukakan di sini. Yang pertama, dalam Allah ada kesatuan dan kemajemukan. Paham kita mengenai kesatuan selalu mengandaikan adanya banyak anggota, karena kesatuan terbentuk dari adanya banyak orang, banyak unsur dan banyak ragam. Dalam Allah, kesatuan dan keberagaman bertemu. Karena keduanya adalah nilai, dan Allah tidak bisa dibatasi untuk mewakili hanya salah satu di antara keduanya. Dalam Allah, keanekaan bukanlah untuk memisahkan, melainkan merupakan suatu kekayaan.

Ada alasan lain juga yang membantu kita memahami kebenaran tentang Allah Tritunggal, yang berasal dari inti ajaran Kristen tentang cintakasih. Jika Allah adalah Cinta, maka Allah yang demikian pasti bukan Allah yang sendirian, sebab cinta tak mungkin ada kalau tak terjalin antara dua orang atau lebih. Jika Allah adalah Cinta maka di dalam Dia, ada seorang yang mencinta, seorang yang dicintai dan Cinta yang mempersatukan mereka. Orang Kristen percaya bahwa Allah itu Satu, dan Allah yang demikian tak sendirian. Dan menurut iman kita juga, kesatuan dalam Allah, lebih mirip dengan kesatuan dalam keluarga.

Sekarang bagaimana kita menjawab tantangan awal tadi untuk kembali ke asal ketika sebagai Gereja kita merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus? Perayaan Tritunggal Mahakudus sesungguhnya mengajak kita yang mengimaniNya untuk mengusahakan kehidupan yang sejati, dengan cara kembali ke asal kita yang sebenarnya.

Pertama, asal kita adalah satu yang terbentuk dari banyak orang, banyak aspek, banyak karakter. Hidup sebagai orang Kristen seyogyanya adalah hidup Trinitaris. Hidup demikian menghargai kesatuan dalam keanekaan, kesederajatan dalam perbedaan. Kita orang Kristen hendaknya menjadi orang yang selalu mempromosikan kesatuan dalam perbedaan-perbedaan kita dan menghargainya sebagai karunia untuk pembentukan komunitas. Pernyataan seperti ini tidak menganjurkan adanya keseragaman, tetapi bertumbuh bersama dalam berbagai perbedaan demi pembangunan komunitas kristiani.

Kedua, ajakan untuk kembali ke asal menemukan tempat aplikasinya yang paling pas dalam kehidupan keluarga. Dengan ini saya mau mengatakan bahwa keluarga-keluarga kita hendaknya menjadi pantulan atau cerminan kehidupan Allah Tritunggal di dunia. Keluarga terbentuk dari orang-orang yang berbeda menurut jenis kelamin (pria dan wanita), berbeda menurut umur (orangtua dan anak-anak) dengan segala konsekwensi yang diakibatkan dari perbedaan itu: beda rasa, beda kebutuhan, beda selera. Keberhasilan sebuah perkawinan dan keluarga kristiani dewasa ini sangatlah bergantung dari ukuran yang digunakan anggota keluarga itu mengarahkan perbedaan di antara mereka demi satu kesatuan yang lebih tinggi: satu cinta, satu maksud dan satu kerjasama.

Bila ajakan ini bisa menjadi pilihan berpikir dan bertindak kita orang Kristen dewasa ini, maka setiap kali kita merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus, kita boleh percaya sekali lagi bahwa mengimani Allah Tritunggal bias membantu kita mengalahkan kebencian yang memecahkan kesatuan dalam keluarga-keluarga kita. Dan berawal dari keluarga, harapan untuk membangun Gereja dan masyarakat baru, bisa menjadi kenyataan.

Harapan dan impian ini bukanlah impian hampa. Doa Kristus Tuhan kita menyertai kita, ketika Ia bersabda, “Hendaklah kamu bersatu, seperti kami satu adanya”.


Copyright @ 30 Mei 2010 by Anselmus Meo SVD