SAPAAN PENGASUH


Selamat bertemu buat para pembaca dan pengunjung blog ini. Kiranya Tuhan kita Yesus Kristus, yang memanggil kita semua kepada kesempurnaan hidup dalam Bapa dan kekayaan rohani dalam KerajaanNya menganugerahkan kegembiraan dan kesuksesan dalam hidup, pelayanan dan keseharianmu.

Anda mengunjungi blog RETRET & REKOLEKSI PASTOR UDIK. Saya suka nama itu, bukan saja karena karya pastoral awal saya sebagai imam, saya lewati sambil mengunjungi berbagai kampung yang sering dicap udik alias kurang maju, tetapi juga karena mengingatkan saya, akan Yesus dari Nasareth, pastor dan gembala sejati yang para muridnya adalah orang-orang sederhana, udik dan marginal.

Apa ada persamaan di antara kita yang mengunjungi blog ini dengan para murid Yesus itu? Saya kira ada dan hal itu adalah kesediaan kita untuk duduk sambil mendengarkan DIA, sang Guru Rohani, Maestro Kehidupan yang tengah bersabda kepada kita.

Selamat menikmati sajian di blog sederhana ini. Selamat menarik diri dari keseharianmu dan menikmati detik-detik berharga berada sang Guru, Pastor dan Gembala dari udik, mulai dari Nasareth hingga ke kampung dan dusun udik pengalaman kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita.

Ansel Meo SVD

Sabtu, September 19, 2009

41. Menjadi Bentara Sabda Allah

Renungan Keenam:

Doa / Lagu
Judul : Bentara Sabda

Bacaan :
Mk 16: 14-20: Perintah untuk Mewartakan Injil

Renungan

Injil yang kita baca ini adalah bagian akhir Injil Markus yang mengisahkan tentang peristiwa Yesus naik ke Sorga. Sebagai bagian integral dari usaha kita untuk menjawab “mengapa Yesus memanggil para muridNya?” bacaan ini menawarkan kita satu kemungkinan jawaban. Dan jawaban itu ialah bahwa Ia memanggil mereka untuk mengutusnya menjadi pewarta khabar gembiraNya, menjadi bentara SabdaNya.

Bagaimana profil seorang bentara sabda Allah sesungguhnya? Dari banyak kisah orang kudus maupun perjalanan para misionaris, kita sebenarnya bisa mendapatkan gambaran tentang siapakah sesungguhnya seorang bentara sabda Allah.

Kisah Arnoldus Yanssen dan Yosef Freinademetz, dari Keluarga Misionaris Serikat Sabda Allah (SVD)

Syair lagu yang kita pakai untuk membuka renungan ini adalah syair yang menggambarkan kehidupan kedua orang kudus ini dalam kapasitas mereka sebagai manusia yang mencoba menjawabi panggilan Tuhan sebagaimana dilukiskan Injil tadi.

Syair ini saya buat tahun 2003, ketika merayakan 10 tahun imamat bersama teman-teman seangkatan, yang kebetulan bersamaan dengan kanonisasi kedua orang kudus ini oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Dalam refleksi singkat tentang hidup keduanya, saya melihat bahwa mereka sungguh adalah Bentara Sabda, seorang yang membawa Sabda Allah baik lewat doa dan tapa (Arnoldus Yanssen) , maupun lewat kesediaan untuk meninggalkan tanah airnya untuk menyatu dengan orang yang dilayaninya (Yosef Freinademetz).
Syair lagu tadi berbunyi sebagai berikut.

Alangkah mengagumkan cinta dan keyakinannya
dengan iman membaja, tanpa takut dan gentar.
Ikuti kehendakNya lewat doa dan tapa
Hamba Tuhan setiawan, Santu Arnoldus Yansen.
Keyakinannya teguh, ringan juga langkahnya
Meninggalkan desanya, Cinalah tujuannya
Setia mewartakan khabar gembira Allah
Hamba yang sederhana, dia Yosef Freinademetz.
Refr.
Syukur kepadaMu, O Tritunggal terkudus
Kauanugerahkan tahun yang penuh rahmat.
O Indah permataMu, Arnoldus & Yosef, HambaMu
Bentara SabdaMu, dalam Gereja kudusMu
Kamipun berserah siap jadi abdiMu Tuhan ‘tuk selamanya
Terbakar oleh cinta pada Dia sang Sabda
Mereka mewartakan karya Allah di dunia
Kamipun merasakan panggilan ‘tuk berkarya
Hidupkan perutusan, jadi Bentara Sabda

Bagi saya, kehidupan Santu Arnoldus Yanssen yang mendirikan tiga kongregasi misi SVD, SSpS dan SSpSAP, sesungguhnya adalah kehidupan seorang yang memiliki visi dan kehendak yang sangat kuat untuk mewartakan Sabda Allah ke seluruh dunia. Benih yang ditanamnya di tahun 1875 di Steyl itu telah menyebar ke 65 negara di dunia dengan sebuah misi untuk membawa Sabda Allah ke tempat di mana orang belum mengenalnya.

Yanssen menyadari bahwa keberhasilan misi pewartaan Sabda Allah ini tak mungkin dipisahkan dari doa yang tanpa henti. Karenanya ia juga mendirikan satu kongregasi suster kontemplatif yang berdoa selama 24 jam untuk kepentingan misi. Yanssen memahami bahwa misi yang berhasil adalah misi yang memadukan karya pewartaan Sabda Allah dengan doa dan tapa. Mengapa? Karena karya ini berkaitan dengan karya Tuhan yang penuh misteri.

Begitu juga dengan Yosef Freinademetz. Misionaris pertama SVD yang dikirim ke tanah Cina ini memutuskan untuk tidak pernah kembali ke tanah kelahirannya di Sud Tirol di Italia Utara. Ia tetap tinggal di Cina hingga kematian menjemputnya. Dan ia mencintai orang Cina, menjadi satu dengan mereka, hingga suatu kesempatan dia menulis, “Di Sorgapun saya mau tetap menjadi seorang Cina.”

Kedua orang kudus ini adalah bentara Sabda Allah. Yang satu merencanakannya, mengorganisirnya dan mengirim misionaris Sabda Allah, sedangkan yang lain menghidupkannya dalam kenyataan, menjelma menjadi orang Cina dalam arti yang sebenar-benarnya.


Mengapa demikian? Karena undangan Tuhan, “pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah Injil kepada segala makhluk” telah menjadi satu dengan hidup mereka. Mereka menerima Sabda yang menjelma menjadi manusia, dan dengan hidup mereka menjelma menjadi sabda kehidupan bagi orang-orang yang mereka layani.

Bentara Sabda : Dia yang Berkomitmen untuk Menghidupkan Sabda Allah dalam Kenyataan Hidup

Pertanyaan pokok dalam permenungan kita hari ini ialah ‘mengapa Yesus memanggil para murid dan kemudian mengutus mereka?’ Dalam renungan ini, jawaban yang coba kita berikan ialah karena Yesus mau menjadikan para murid dan semua yang dipanggilNya bentara sabdaNya.

Tetapi siapakah bentara sabda itu sesungguhnya? Bagaimana ciri-cirinya?
Melihat kembali hidup kedua orang kudus Arnoldus Yanssen dan Yosef Freinademetz, sebagaimana diungkapkan via syair lagi di atas, sambil mengkonfirmasikannya dengan bacaan Injil Markus di atas, kita mendapatkan ciri-ciri bentara Sabda Allah sebagaimana yang dimaksudkan Yesus.

(1). Pembawa khabar gembira ke manapun dan bagi siapapun

Yesus memanggil murid-muridNya dan kita untuk berada bersama Dia. Setelah itu Ia mengutus mereka mewartakan Sabda Allah ke selruh dunia dan kepada segala makhluk. Itulah perintahNya dalam Injil yang barusan kita baca, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Perintah Yesus ini telah menjadi inspirasi bagi penyebaran kekristenan ke seluruh dunia, telah menggerakan banyak orang untuk mendirikan kongregasi religius, dan menyemangati pria dan wanita dari segala lapisan masyarakat untuk menjadi pewarta khabar gembira.

Begitu efektifnya perintah ini hingga gema dan aplikasinya masih kita temukan relevan hingga hari ini. Ada begitu banyak karya, ada begitu banyak jenis kerasulan telah dibuat karena bermula dari kemauan untuk menjawab perintah Tuhan Yesus ini.

Dan sekarang kita yang ada di sini juga mendapat giliran juga untuk menjawabinya dengan cara kita. Kita adalah pembawa khabar gembira, bukan khabar buruk, bukan khabar duka, tetapi khabar gembira.

Kita membawanya kepada segala makhluk, kepada alam ciptaan di sekitar kita, dan melewati batas-batas fisik bangsa dan tanah air kita.

(2). Seorang yang beriman teguh, yang sadar dan tahu bahwa Kristus yang bangkit menjadi jaminan pewartaanNya

Perintah kepada para murid untuk mewartakan Injil ternyata disertai juga dengan permintaan untuk percaya dan menerima baptisan sebagai salah satu sikap dasar yang mesti dimiliki oleh para murid. Injil tadi melanjutkan, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.”

Jika kepada mereka yang menerima pewartaan saja telah diminta untuk memiliki sikap percaya, apalagi mereka yang dipanggil untuk mewartakan khabar gembira tersebut. Sebagai bentara Sabda Allah, para murid dan kita mesti menjadi orang yang sungguh-sungguh beriman dan percaya. Kepercayaan kepada yang mengutus kita menjadi syarat untuk mengalami berbagai pemenuhan janji. Yesus yang bangkit memegang janjiNya dan menyertai para muridNya dengan berbagai tanda dan mukjizat.

Dan Injil tadi masih memperjelas lebih lanjut demikian, “Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, 18 mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh."

Apakah janji penyertaan dengan berbagai tanda heran ini adalah jaminan yang dimiliki oleh para murid? Rasanya demikian. Paling kurang, itulah yang kita saksikan dari kisah hidup para kudus dan dalam diri kedua orang kudus Arnoldus Yanssen dan Yosef Freinademetz yang saya kisahkan tadi.

Keteguhan iman mereka akan janji Yesus memberanikan mereka untuk memutuskan sesuatu bagi misi. Dan ternyata dalam perjalanan waktu, keputusan mereka itu adalah sebuah keputusan yang tepat, keputusan orang yang percaya. Dan Tuhan melengkapi karya dan keputusan mereka dengan kebesaranNya. Karya misi dan karya pewartaan khabar gembira berkembang pesat hingga dewasa ini.

Bagaimana dengan kita? Apakah jaminan yang sama diperuntukan juga buat kita? YA, kalau kita pertama-tama sungguh menjadi orang yang percaya. Seorang yang dipanggil oleh Tuhan dan yang bersedia diutus olehNya sebagai bentara sabdaNya mesti menjadi orang yang percaya kepada Yesus. Ia percaya dan mendoakan panggilannya, yang menjadi tanda nyata penyerahan dirinya kepada Dia yang memanggil.

(3). Berkarya demi memajukan hak dan martabat manusia dan komunitas di mana manusia itu hidup

Seorang bentara sabda bukan saja menjadi orang yang pandai mewartakan dengan kata-katanya, melainkan juga seorang yang berusaha menjelmakan Sabda yang diwartakannya itu dengan karya dan tindakan nyata.

Jika Yesus yang adalah Sabda Allah yang kekal menjadi manusia untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, maka karya yang melekat erat dengan pewartaan Sabda Allah tidak lain adalah usaha tanpa kenal lelah untuk memajukan hak dan martabat manusia di manapun mereka berada.

Dengan demikian karya pewartaan Sabda Allah tak akan pernah lepas dari tanggung jawab terhadap usaha memanusiakan manusia, di manapun mereka itu ada. Karya pewartaan Sabda akan selalu menjadi karya yang menghantat para penerima Sabda itu untuk menjadi semakin maju dan berkembang.
Copyright © 11 Juni 2009, by Ansel Meo SVD

40.Ditetapkan sebagai Rasul untuk Menyertai Dia

Renungan Kelima

Bacaan
Mk 3:13-19: Yesus Menetapkan Keduabelas Rasul di Atas Bukit

Renungan

Tema untuk renungan kedua hari ini, saya beri dengan judul “Ditetapkan sebagai Rasul-Rasul untuk Menyertai Dia”.

Pilihan tema ini menjelaskan juga alasan kedua mengapa Yesus memanggil para muridNya. Malah dalam Injil yang barusan kita baca, mereka bukan saja dipanggil tetapi juga ditetapkan sebagai duabelas Rasul untuk menyertai Yesus dan menjadi sahabat yang setia menemani Dia dan kemudian untuk diutus olehNya melaksanakan tugas-tugas yang dikehendakiNya.

Mengapa Yesus menetapkan duabelas Rasul dari antara begitu banyak orang yang mengikuti Dia? Mengapa perlu ada sebuah kelompok khusus yang terpilih untuk menyertai Dia? Dan apa hubungannya dengan panggilan yang sekarang sementara kita ikuti?

Injil di atas sesungguhnya menampilkan dua pokok besar yang bisa kita sebutkan di sini, yakni : (1) Yesus memilih dan menetapkan ke dua belas rasul, dan (2) Ia mengutus mereka sebagai Rasul dengan nama dan riwayat mereka masing-masing.

Kedua hal ini sungguh menarik untuk kita renungkan, karena memiliki hubungannya dengan bagaimana proses kita dipanggil, dipilih dan menjalankan perutusan kita dalam biara.

Untuk mendalami kedua pokok ini, sebuah kisah sederhana berikut, mungkin bisa membantu pemahaman kita. Sebuah kisah sedih tetapi mengandung makna yang mendalam buat kita semua yang mencoba memahami siapakah Tuhan yang memanggil dan memilih kita untuk menyertai Dia.
Dia yang Menemani Aku[1]

Di suatu tempat, ada satu keluarga atheis. Mereka mempunyai seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Suatu malam, pasangan suami istri itu bertengkar. Pertengkaran itu menghebat, sampai akhirnya mereka pun saling mencaci satu sama lain. Akhirnya, dalam kekalapan akibat cacian istrinya, si suami pun meraih sebilah pisau dapur dan menikam istrinya berulang-ulang sampai sang istri meninggal dengan tubuh rusak penuh berlumurah darah. Selang beberapa waktu, si suami menyadari apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang, ia pun menikamkan pisau ke jantungnya sendiri. Ia roboh, dan meninggal tepat di samping jenazah istrinya.

Semua kejadian itu disaksikan anak perempuan mereka dari balik pintu. Sesudah memenuhi prosedur hukum yang berlaku, anak perempuan itu pun kemudian diadopsi oleh tetangganya sendiri, satu keluarga Kristen yang sudah lama menikah tetapi masih belum dikarunai anak. Pada hari Minggu, si anak dibawa ke Gereja oleh keluarga barunya. Itulah untuk pertama kalinya si anak perempuan mengikuti Ekaristi Kudus.

Sesudah Ekaristi, si Ibu membawa anak angkatnya ke Sekolah Minggu. Kepada Guru, sang Ibu berkata, "Anak angkat saya ini belum pernah mengenal Kristus sebelumnya, harap bersabar dalam mendidiknya."

Di dalam kelas, sang Guru memperlihatkan lukisan Yesus ke seluruh kelas dan bertanya, "Ada yang tahu siapakah yang dilukis ini?"

Beberapa murid dengan antusias berseru, "Itu Yesus! Itu Yesus!" Sang Guru mendekati si anak perempuan dan bertanya lembut, "Nak, apakah engkau tahu siapakah yang dilukis ini?" Si anak perempuan mengangguk, matanya tidak berkedip memandang lukisan itu.

Sang Guru keheranan dan bertanya, "Siapakah orang ini?" "Aku tidak tahu namanya," jawab si anak perempuan, "Tetapi aku tahu, dialah yang setiap malam menemani aku sejak orang tuaku meninggal..................."

***
Menilik kisah ini, kita sedang menampilkan sisi lain dari panggilan Yesus dan cintaNya yang tanpa batas, yang melampaui mereka yang mengenal Dia. Kita bisa mengatakan di sini, bahwa jika Yesus mengasihi orang yang tidak mengenal Dia, tidakkah Dia terlebih lagi mengasihi mereka yang mengenal Dia? Bukankah Dia akan lebih mengasihi mereka yang dipilih dan ditunjukNya menjadi sahabat yang menyertai Dia?

Menjadi Rasul Untuk Menyertai dan Disertai oleh Yesus

Mengapa Yesus memilih dan menetapkan kedua belas Rasul? Mengapa Yesus juga mau menjadi sahabat setia yang menemani si gadis yatim piatu dalam kisah tadi? Jawabannya ialah bahwa Yesus memilih orang yang dikehendakiNya untuk menyertai Dia dan ketika mereka diutusNya, Dialah yang menyertai mereka. Jadi di dalam Dia kita temukan seorang Sahabat yang membutuhkan bantuan, tetapi juga yang membantu dengan cara yang luar biasa.

(1). Yesus Memilih dan Menetapkan Orang yang DikehendakiNya

Dalam kisah panggilan baik yang terdengar biasa-biasa maupun yang tergolong luar biasa, kita akan selalu menemukan bahwa yang memulai adalah Tuhan sendiri. Tuhanlah yang berinisiatip. Dialah yang merencanakan, memilih dan memanggil mereka.

Kisah Injil Markus di atas menggambarkan kenyataan itu. Terkesan bahwa baik pemaparan tentang tempat, jumlah 12 rasul memiliki hubungan dengan kisah pemilihan 12 suku Israel dengan latar belakang gunung Sinai. Kendatipun bukan hal penting di sini, ada kesamaan yang menonjol di sini yakni bahwa pilihan dan penetapan orang-orang ini adalah hak Allah sendiri, dan dalam kasus Yesus, Yesus sendirilah yang memilih dan menetapkan mereka.

Mengapa mereka dipilih? Penginjil Markus sekali lagi menegaskan bahwa mereka dipilih untuk menyertai Yesus. Pertanyaannya, mengapa Yesus membutuhkan penyertaan mereka?

Jawabannya bisa kita temukan dalam diri Yesus bukan hanya adalah seorang guru tetapi juga seorang yang membutuhkan sahabat. Kita karenanya menemukan potret yang sungguh manusiawi dari Yesus di sini.

Yesus memang disebut Guru, Ia mencari murid; tetapi berbeda dari para guru masa itu, Ia tidak memperlakukan mereka yang mengikuti Dia hanya sebagai murid semata-mata, tetapi menjadikan mereka sebagai sahabat dan rekan kerjaNya. Dia hidup sebagai seorang pribadi yang memiliki sebuah komunitas. Dan Dia tidak hidup sebagai seorang Nabi yang terisolasi.

Sampai di sini, kita bisa mengerti bahwa memilih dan menetapkan mereka yang dikehendakiNya untuk menyertai Dia, untuk tinggal bersama Dia, untuk berbagi suka dan duka bersama Dia.

Bukankah aspek ini sangat menonjol juga dalam kenyataan panggilan kita saat ini? Komunitas di mana kita menjalankan panggilan kita bukanlah sebuah komunitas dengan anggota yang berdiri sendiri, tetapi komunitas yang memiliki wajah manusia yang membutuhkan sahabat, teman seperjalanan.

Menjadi teman seperjalanan, menjadi sahabat yang menyertai adalah sebuah aspek penting dalam panggilan hidup membiara. Kalau Tuhan mau memilih kita menjadi sabahat yang menyertai Dia, mengapa sering sekali terjadi bahwa persahabatan itu tak nampak dalam komunitas orang yang dipanggil.

Kita dipanggil untuk menyertai Yesus, untuk menjadi teman seperjalanan dalam misiNya. Ini perlu sekali diingat, supaya kita tidak terlalu menonjolkan aspek kepemimpinan sebagai yang memerintah dalam biara. Yesus menjadikan mereka ini sebagai orang yang menyertai Dia. Ia menjadikan mereka sebagai sahabat mereka. Ia memilih dan menetapkan mereka untuk menjadi rekan sekerja mereka. Ia tidak menonjolkan bahwa mereka adalah bawahanNya.

(2). Ia Mengutus Mereka dengan Kekhasan Nama dan Pribadi Mereka

Ketika para murid ini tinggal bersama Dia, menjadi sahabatNya dan menjadi rekan kerjaNya, Yesus sesungguhnya mempercayakan banyak hal kepada mereka, termasuk karya misi yang diterimaNya dari BapaNya.

Pengenalan akan para sahabatnya inilah yang membuat Yesus kemudian menyerahkan mandat kepada mereka dan mengutus mereka. Mereka adalah ‘Rasul’, orang yang diutus, orang utusan yang dilengkapi dengan kekuatan dan penyertaanNya sendiri.

Walaupun para Rasul ini diutus dengan kekuatan yang khusus dan penyertaan langsung dari Yesus, kenyataan ini sama sekali tak menutup kenyataan kemanusiaan mereka. Penjelasan nama dan arti nama itu hanya sekali lagi menekankan bahwa mereka yang diutus ini adalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan.

Petrus misalnya disebut Kefas, tapi kemudian dipanggil lagi dengan Simon ketika dia menyangkal Yesus. Putra-putra Zebedeus disebut juga dengan anak-anak guruh yang menunjuk pada temperamen mereka.

Bukan cuma itu, kenyataan bahwa dalam group 12 orang ini tergabung dari berbagai kelas sosial yang berbeda, yang bahkan seringkali saling berlawanan, sekali lagi menunjukkan bahwa mereka membutuhkan penyertaan dan bimbingan Yesus dalam perutusan mereka.

Jadi mereka diutus sebagai Rasul untuk melaksanakan misi yang diemban Yesus. Sebagai Utusan, Yesus tak membiarkan mereka sendiri, Dia menyertai mereka.
Catatan :

[1] “Dia yang menemani aku”, cerita iman dari Pondok Renungan, http://www.%20pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=60&next=50.

Copyright © 10 Juni 2009, by Ansel Meo SVD

39. Memperoleh Kehidupan yang Kekal

Renungan Keempat

Bacaan :
Mt 19: 16-22 : Orang Muda yang Kaya

Renungan


Pertemuan antara orang muda yang sangat kaya ini dengan Yesus sebenarnya adalah suatu pertemuan yang dapat mengubah hidup si pemuda. Namun kenyataannya, di akhir Injil ini dikatakan bahwa orang muda itu gagal mengubah hidupnya, oleh karena banyak harta yang dimilikinya.


Kita tentu bertanya, apakah kiranya yang menjadi soal pokok yang ditampilkan dalam Injil ini? Apakah orang muda itu memang peduli dengan apa yang ditanyakannya kepada Yesus yakni soal hidup kekal ataukah ia sedang mencari pembenaran atas apa yang tengah dipraktekannya selama hidupnya?

Kelihatannya hal kedualah yang menjadi motivasinya, bahwa ia tengah mencari pengakuan atas praktek keagamaan yang sementara dibuatnya. Itulah yang menjadi alasan kenapa Yesus langsung menunjuk pada persoalan, “"Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik (yakni Allah sendiri).[1] ... dan karena itu, turutilah segala perintahNya.”


Bagaimana reaksinya? Dia malah balik bertanya, “Perintah yang mana?” dengan kesan seolah meremehkan tantangan Yesus. ... “Saya sudah melaksanakan semuanya!” demikian ia memperkenalkan dirinya kepada Yesus.


Jawaban ini sebenarnya melawan apa yang Yesus katakan kepadanya bahwa “hanya Satu saja yang baik yakni Allah”. Ia sedang mengatakan pada Yesus bahwa ia juga adalah orang yang “baik” seperti halnya Allah.


Walaupun dia mengklaim dirinya sebagai baik, tetapi ia sejujurnya tengah mengatakan kepada Yesus, bahwa ada yang kurang padanya. Pelaksanaan perintah Allah terasa tak cukup menjadi jaminan baginya untuk masuk kepada hidup yang sementara Yesus wartakan.


Nah... di sinilah jawaban Yesus diberikan kepadanya, yang sekaligus menjadi satu alasan mengapa Yesus memanggil para murid kepadaNya. Katanya kepada orang muda itu, “Jika engkau ingin menjadi sempurna, maka ....” Menjadi sempurna adalah sinonim dengan “memiliki kehidupan yang kekal (19,16) dan “memasuki hidup” (19,17) yang berarti meniru sikap Allah sendiri, yang mencintai bukan demi keuntungan bagi diri sendiri.

Makan Siang Bersama Tuhan


Julie A. Manhan[2] pernah mengisahkan kisah berikut ini kepada Pondok Renungan.

Ada seorang anak yang rindu bertemu dengan Tuhannya. Ia menyadari bahwa perjalanan panjang diperlukan ke rumah Tuhan, karena itu dikemaslah tasnya dengan kue Twinkies dan satu pack root beer berisi 6 kaleng lalu memulaikan perjalanannya.

Ketika telah melampaui beberapa blok dari rumahnya, ia bertemu dengan seorang tua. Ia sedang duduk di taman dekat air memperhatikan burung burung. Sang anak duduk dekat dengannya lalu membuka tas. Ketika ia mengambil root beer (bir tidak beralkohol) untuk melepaskan dahaganya ia perhatikan bahwa orang tua itu kelihatan lapar sedang memandang padanya. Dengan segera ia menawarkan kue Twinkie kepada orang tua itu.


Dengan gembira ia menerima dan memberikan senyum padanya. Senyum itu luarbiasa menarik sehingga anak ini senang untuk menikmatinya lagi. Itu sebabnya anak ini menawarkan lagi kepada orang tua itu sekaleng root beer. Sekali lagi, ia tersenyum kepadanya. Anak ini sangat gembira! Sepanjang petang mereka duduk disana, makan dan tersenyum, tanpa mengeluarkan sepatah kata.


Ketika malam turun, anak ini merasa lelah, ia berdiri untuk meninggalkan tempat itu, namun sebelum ia melangkahkan kakinya, ia berbalik dan lari ke orang tua itu dan memberikan sebuah pelukan. Orang tua itu memberikan senyumnya yang lebar.


Ketika anak ini membuka pintu rumahnya beberapa waktu kemudian, ibunya terkejut melihat kegembiraan memancar di wajah anaknya. Ia bertanya: Apa yang terjadi hari ini sehingga membuat kamu begitu senang? Sang anak menjawab: "Saya berkesempatan makan siang bersama Tuhan".


Dan sebelum ibu memberikan responsnya, anak ini menambahkan: " Ibu, Ibu tahu senyumnya, itulah senyum paling indah yang pernah saya lihat". Sementara itu, si orang tua, juga penuh dengan kegembiraan, pulang kerumahnya. Anaknya terpesona melihat kedamaian memancar diwajahnya dan bertanya: "Ayah, apa yang terjadi hari ini membuat kamu sangat bergembira?
Ia menjawab: "Saya makan Kue Twinkies di taman bersama Tuhan". Dan sebelum anaknya merespon, ia menambahkan: "Kamu tahu, Dia lebih muda dari yang saya duga."
***
Kita Dipanggil untuk Mengubah Hidup sebagaimana Tuhan Menghendakinya.

Kisah kecil ini memang mengingatkan kita bahwa terlalu sering kita menganggap remeh kuasa dalam senyum, jamahan, kata-kata yang baik, telinga yang mendengar, pemberian yang tulus atau perhatian-perhatian kecil. Padahal semua itu berpotensi membuat kehidupan seseorang menjadi istimewa atau bahkan merubah kehidupan seseorang.

Nah, kita bertanya sekarang, untuk apa seorang dipanggil Tuhan? Untuk apa Tuhan memanggil seseorang? Untuk membenarkan dirinya dan membanggakan segala yang dibuatnya ataukah untuk mengubah hidup sebagaimana Tuhan menghendakinya?

Si pemuda kaya tadi diminta Yesus untuk melakukan empat hal, agar hidupnya berubah sebagaimana Tuhan menghendakinya. Dan keempat hal itu adalah: (1) pergilah, (2) juallah segala milikmu, (3) berikanlah kepada orang miskin, dan (4) datanglah mengikuti Aku!

Inilah jalan untuk memiliki hidup sejati. Inilah cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Inilah syarat untuk memasuki hidup bersama Allah, hidup yang kekal yang dijanjikan bagi semua yang menjadi murid Yesus.

1. Pergilah : Melepaskan keterikatan dari kuasa kejahatan

Dalam Injil Yesus sering sekali mengatakan “Pergilah!”, sebuah seruan yang penuh kuasa, terutama berhadapan dengan kekuatan roh jahat, penyakit, dosa dan juga bentuk-bentuk penjajahan. Kata Yesus ‘pergilah’ di sini juga punya efek yang sama atas si pemuda kaya ini.

Jika saja si pemuda kaya ini mentaatinya, maka ia akan dapat mengatasi kekuatan si jahat yang telah melekat erat dalam prakteknya mendatangkan kekayaan bagi dirinya selama itu. Andaikan saja ia mengikuti sabda Yesus, dia akan disembuhkan dari kerakusannya untuk mengumpulkan harta dengan cara terus menindas orang yang miskin. Bila saja ia mentaati sabda Yesus ini, ia tentunya bisa memperbaiki struktur sosial masyarakat yang didominasi penjajahan Roma waktu itu.

Tapi nyatanya, dia tidak melaksanakan ajakan Yesus. Ia menolak kehidupan baru yang ditawarkan Yesus kepadanya. Ia menolak kehidupan kekal.

Panggilan setiap kita adalah sebuah keputusan untuk mengikuti ajakan Yesus ‘pergilah’. Orang yang dipanggil memang harus meninggalkan ikatan lama, dan menyatakan kesediaannya untuk bersama Yesus mengubah hidup. Kisah anak kecil tadi menunjukkan bahwa gerakan hati untuk pergi bertemu dengan Tuhan, mempengaruhi cara pandangnya terhadap kenyataan di sekitarnya. Yesus memanggil kita agar kita bersedia untuk menjadi sarana untuk mempertemukan sesama kita dengan Tuhan dan kita sendiri denganNya.

2. Juallah segala milikmu : Peringatan untuk tidak diperhamba oleh kekayaan

Perintah untuk menjual harta milik untuk mengikuti Yesus, memang tidak dialamatkan kepada semua murid. Petrus, Andreas, Yohanes dan Yakobus memang meninggalkan keluarga dan bisnis mereka tetapi mereka tak menjualnya (bdk Mt 4, 18-22). Matius meninggalkan kantornya.

Jadi Yesus tidak memandang bahwa kaya itu suatu kejahatan. Orang muda ini diminta untuk menjual hartanya, karena bagi dia kekayaan adalah sesuatu yang serius. Ia menjadi hamba kekayaannya. Kekayaan di sini termasuk rumahnya sendiri yang menjadi simbol status dan kehormatannya. Rumah bagi orang kaya ini adalah simbol di mana ia mengontrol semua orang yang ada di bawah kuasanya. Itulah sebabnya Yesus meminta dia untuk melepaskan dengan cara menjual semuanya.

Ternyata dia tak bisa melakukannya, karena baginya kekayaannya, status sosialnya dan reputasinya adalah segalanya. Keterikatan terhadap hal-hal ini membelenggu dia.

Persis hal yang bertolak belakang dengan sikap anak dalam kisah tadi. Kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan telah membuat anak ini menyiapkan kemungkinan untuk melepaskan dan membagikan apa yang dimilikinya dengan Tuhan. Dan dalam pandangan yang demikian, ia menjadi bebas. Ia membagikannya dengan bapak tua di taman itu.

Hasilnya, kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan oleh keduanya dan orang yang hidup bersama mereka. Mereka menemukan Tuhan dalam sesamanya.

Panggilan kita mengharuskan kita untuk melepaskan keterikatan kita kepada harta milik dan menjadi bebas untuk membagikannya dengan orang lain yang membutuhkan. Itulah jalan untuk bertemu dengan Tuhan. Itulah jalan untuk melayani Dia.

3. Berikanlah kepada orang miskin : Mengubah struktur masyarakat menjadi lebih adil

Ini adalah tindakan dan sikap tobat. Orang miskin di sini adalah mereka yang secara fisik memang miskin, tak memiliki sumber-sumber pendapatan, mereka yang dieksploitasi dan ditindas oleh orang yang kaya, yang satu di antaranya adalah orang kaya yang datang kepada Yesus ini.

Memberikan kepada orang miskin sebagaimana diminta Yesus bukanlah berarti meminjamkan sesuatu kepada mereka, tetapi memberikannya karena kesadaran bahwa dari merekalah harta itu telah diambil secara paksa oleh si kaya. Memberikan kepada si miskin adalah cara untuk memperbaharui struktur sosial yang tak adil, suatu tindakan yang mewujudkan karya Allah yang memberikan keadilan kepada yang membutuhkannya.

Si anak dalam kisah tadi, ketika menyantap bekalnya, langsung melihat bahwa si tua yang miskin itu tak memiliki apa-apa. Ia tanpa pikir panjang menyerahkan bagiannya buat si miskin. Dia menjembatani kenyataan perbedaan kelas sosial di antara mereka. Dan karena itulah keduanya sama-sama sebenarnya mengalami YUBILEUM, ketika Allah menjadi pembebas mereka. Mereka menemukan Tuhan dalam saudara mereka.

Begitulah yang seharusnya terjadi di antara mereka yang mengikuti panggilan Tuhan. Panggilan hidup khusus seperti hanya hidup membiara adalah satu cara hidup yang menonjolkan semangat keadilan, semangat berbagi dalam kekurangan, semangat untuk mendahulukan yang miskin, yang tertindas dan terpinggirkan.

Adalah satu perjuangan bagi orang yang terpanggil untuk mengembalikan struktur masyarakat menjadi satu struktur yang mempromosikan keadilan sosial, di mana semua mendapatkan nafkah kehidupan, semua mendapatkan perlakuan sosial yang sama, di mana anggotanya tidak lagi menjadi penjajah bagi saudara-saudaranya.

4. Datanglah mengikuti Aku : Menjadi alat yang menghadirkan Allah yang menghidupkan.

Ajakan untuk datang dan mengikuti Yesus yang dialamatkan Yesus kepada si pemuda kaya ini, sebenarnya adalah sebuah ajakan untuk memasuki suatu relasi dan hubungan baru dengan Dia yang adalah alat yang memanifestasikan kuasa Allah yang menyelamatkan.

Lebih dari itu ajakan ini adalah undangan untuk memasuki kehidupan eskatologis yang berada di dalam kontrol Yesus sendiri. Dan memasuki hidup akhirat ini hanya bisa melalui panggilan menjadi murid Yesus.

Jadi bila ia menjawabi undangan ini, sesungguhnya ia memasuki suatu relasi sosial yang baru. Panggilan itu karenanya berarti bergabung dalam komunitas yang baru (Mat 4,18-22), suatu komunitas orang-orang yang marginal dan terpinggirkan (Mat 19, 1-15), suatu komunitas anak-anak Allah, yang tak berdasarkan pada kelahiran, jenis kelamin, tetapi karena kerinduan untuk melaksanakan kehendak Allah.

Komunitas yang demikian adalah komunitas yang mempraktekan keadilan dalam arti ekonomis, serta memiliki pola interaksi sosial yang baik.

Inilah yang terjadi dalam kisah antara anak kecil dan si bapa yang miskin tadi. Dan pola hubungan inilah yang sesungguhnya coba dihidupkan dalam kehidupan religius.

Catatan :

[1] Dalam kitab Micha 6, 8 Allah menyatakan apa sebenarnya yang baik itu, yakni :” melaksanakan keadilan, mencintai dengan tulus dan berjalan dengan rendah hati di hadapan Allah.”

[2] Julie A. Manhan, “Makan Siang Bersama Tuhan”, Cerita Iman, http://www.%20pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=391&next=150.

Copyright © 10 Juni 2009, by Ansel Meo SVD




Jumat, September 18, 2009

38. Mereka Tinggal Bersama-sama dengan Dia

Renungan Ketiga

Dalam Injil kita diingatkan bahwa Yesus memang memanggil para muridNya baik pada waktu yang khusus maupun pada waktu lainnya yang kelihatan biasa. Jadi sepertinya, tak ada waktu yang pasti.

Hal itu menunjukkan bahwa dalam hidup setiap orang, Yesus bisa saja masuk dan memanggilnya. Tetapi ketika datang saat itu, itulah saat yang pas, yang akan tetap mengesankan di benak orang yang dipanggil

Bacaan
Yoh 1, 35 – 44 : Murid-Murid Yesus yang Pertama


Renungan

Kita sepakat untuk mengatakan bahwa panggilan Tuhan kepada kita merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak orang, waktu dan memiliki langkah-langkah atau tahapan. Tak ada seorangpun dari kita, maupun mereka yang ada sebelum kita, mengalami panggilan sebagai sesuatu yang telah jadi.

Ketika hari ini, kita dihadapkan dengan pertanyaan kapan dan bagaimana kita mengalami panggilan Tuhan, banyak di antara kita barangkali bingung. Kita ragu-ragu untuk menemukan “saat” atau “peristiwa” mana yang sungguh-sungguh kita kenal atau kita sadari sebagai saat/peristiwa kunci yang membuat kita banting stir dan memutuskan untuk mengikuti panggilan Tuhan.

Nah dalam momen seperti itu, seringkali seruan atau ajakan seseorang menjadi berarti. Mungkin juga kedekatan relasi berdasarkan hubungan keluarga memiliki perannya tersendiri. Kita menjadi sadar bahwa dalam proses yang demikian, kita akhirnya melihat bagaimana Tuhan berkarya, Tuhan menggerakkan dan kemudian memanggil serta mengutus orang yang dipanggilNya. Satu hal pasti, pengalaman tinggal bersama Dia adalah sebuah momen kunci yang memungkinkan suara dan kehendak Tuhan dikenal oleh orang yang dipanggilNya.

Mimpi seorang Teman[1]

Pater Tarsis Sigho SVD, seorang misionaris yang bekerja di Taiwan pernah mengisahkan cerita tentang mimpi temannya. Dia mengisahkan demikian:

“Seorang teman saya pernah berkisah tentang mimpinya bertemu Yesus. Baiklah kita dengarkan bersama bagaimana dia menceritakan mimpinya itu:

"Suatu malam saya bermimpi. Dalam mimpiku aku melihat Yesus membawa aku berjalan keliling. Karena tidak tahu arah tujuan perjalanan kami maka saya bertanya; 'Guru, di manakah Engkau tinggal?' Ia cuman berkata; 'Anda ingin melihat tempat di mana aku tinggal? Mari ikutilah aku.'

Ia membawa aku ke kamp pengungsi, di mana ada begitu banyak orang menanti penuh cemas butir-butir makanan buat mengisi perut mereka. Sambil menunjuk ke arah orang-orang tersebut Yesus berkata; 'Mereka semua mengingatkan saya akan masa pelarian saya dari Betlehem ke Mesir. Maria, ibuku sering bernostalgia tentang nasib pedih yang harus kami lalui di Mesir, suatu kehidupan di tanah asing tanpa identitas yang legal dan jelas seperti mereka ini. Ketahuilah, Aku tinggal di sini bersama mereka.'

Ia juga membawa saya ke Rumah sakit. Sekali lagi Ia berkata; 'Ketika memikul salibku ke Golgotha, aku mengalami nasib seperti mereka ini, menghadapi hidup yang seakan tanpa harapan. Masih ingatkah engkau ketika saya berteriak di Taman Zaitun meminta agar piala kepahitan itu beralih dari padaku? Aku yakin merekapun sering mengulangi lagi teriakanKu itu. Ketahuilah, saya juga ada di sini bersama mereka. Mereka tidak sendirian.'

Yesus lalu membawa saya ke sebuah pabrik di mana ada banyak karyawan bekerja dan berkata; 'Mereka kadang-kadang diperlakukan secara tidak adil oleh majikan mereka. Mereka kerap kali harus bekerja lembur tanpa gaji yang serasi. Mereka mengingatkan kehidupanku sendiri yang harus bekerja sebagai tukang kayu, yang harus bekerja seperti seorang buruh kasar. Ketahuilah, akupun ada di sini bersama mereka.'

Kami tiba di sebuah gereja yang megah dengan tabernakel yang indah, seindah surga itu sendiri. (Hahaha... Siapa sih yang pernah melihat surga?). Banyak orang keluar dan masuk gereja ini untuk memasang lilin dan berdoa di sana. Yesus lalu bergumam; 'Saya juga hidup di sini. Tapi sayangnya, banyak orang mau agar saya dikandangkan di tabernakel ini hanya untuk dikeluarkan seminggu atau beberapa minggu sekali.' KataNya dengan wajah sedih.

Namun tiba-tiba air mukaNya berubah cerah dan berkata dengan penuh antusias; 'Tahukah engkau? Ada satu tempat di mana saya belum pernah pergi.' Ia mengangkat sesuatu seperti selembar foto dan ditunjukannya ke arahku. Oh...ternyata itu adalah sebuah cermin dan saya melihat bayangan diriku sendiri di dalamnya. Ia lalu bertanya; 'Apakah engkau memiliki kunci untuk masuk ke ruangan yang baru saja kamu lihat? Aku ingin masuk dan tinggal di sana walau hanya cuman sebentar saja.'" Temanku seakan diliputi rasa sedih ketika menyelesaikan kisah mimpinya tersebut.
***

Cuma sebuah mimpi memang. Tapi teman dalam cerita ini kemudian bangun dan berlutut sembari berdoa, “Tuhan..!!! Bantulah aku untuk membuka pintu hatiku bagimu. Lebih dari itu, bantulah aku untuk mengetahui bahwa Engkau sesungguhnya telah ada di dasar bathinku dan menantikan kehadiranku di sana.”

Tuhan selalu Menantikan Kehadiran Setiap Kita

Tuhan menantikan kita. Barangkali inilah lukisan yang pas untuk menggambarkan tentang proses panggilan kita masing-masing. Lukisan ini saya gunakan untuk sekedar mengingatkan kita bahwa bukan kita yang pertama-tama ingin mengenal Tuhan lalu memutuskan untuk mengikuti Dia, tetapi sebaliknya. Tuhanlah yang pertama-tama mau mengenal kita, dan dengan caraNya sendiri Ia sabar menantikan kapan kita menyadari bahwa Dia ada di bathin kita.

Dari kisah mimpi sahabat kita di atas dan bacaan Injil yang kita gunakan untuk permenungan ini, kita bisa menemukan peneguhan bahwa sesungguhnya panggilan itu adalah proses untuk mengenal bahwa Tuhan menantikan kehadiran kita di hadapanNya.

Dan sebagai sebuah proses yang melibatkan banyak waktu dan berbagai cara, panggilan setiap kita mengandaikan dua hal ini: (1) kepekaan untuk mengenal kehadiran Tuhan dalam peristiwa hidup, dan (2) kerelaan untuk tinggal bersama Dia dan belajar daripadaNya.

(1). Mengasah Kepekaan untuk Mengenal Kehadiran Tuhan

Mengasah kepekaan untuk mengenal barangkali adalah satu ketrampilan paling mendasar yang dilatih sejak manusia berusia sangat muda. Sejak masa kecil kita, kita sudah dilatih untuk mengenal, entah itu orang, suara, lingkungan dan bahkan pengetahuan. Dan bukan tidak mungkin, banyak dari kita yang sudah dilatih juga untuk mengenal yang namanya Tuhan sejak kita berusia sangat muda.

Penginjil Yohanes tadi menyinggung bagaimana Yohanes Pemandi menunjukkan atau memperkenalkan Yesus kepada muridnya sendiri, dengan mengatakan “Lihatlah Anak Domba Allah!” Seruan ini dikenal sangat baik oleh mereka yang selama hidupnya selalu mencari Tuhan. Itulah sebabnya, kedua murid Yohanes itu langsung beralih kepada Yesus, karena Dialah sesungguhnya subyek yang tengah dicari mereka sebagai Murid.

Lebih dari itu, pertanyaan mereka, “Guru di manakah Engkau tinggal?” sekali lagi mengkonfirmasikan bahwa ada keinginan yang besar dari pihak mereka untuk mengenal Yesus secara lebih dekat. Dan Injil mengungkapkan bahwa hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia.

Selain pertemuan dengan kedua murid Yohanes, Injil tadi juga mengisahkan tentang pertemuan Yesus dengan murid-murid yang lain. Mereka semua bukanlah kelompok orang yang barusan mengenal Yesus. Mereka pasti termasuk dari kelompok yang dinamakan “sisa kecil Israel”, yang bersama orang seperti Maria, ibu Yesus, setia menantikan kedatangan Mesias, sang Pembebas. Mereka dipersiapkan untuk bisa mengenal Dia ketika Dia dinyatakan kepada publik.
Kisah dalam mimpi di atas sedikit banyak membantu kita ke arah ini. Lebih dari itu, aktor utama yang digaris-bawahi yakni Tuhan Yesus sendiri, yang beraksi untuk menghantar orang yang dikehendakiNya kepada pengenalan akan diriNya.

Dalam tahapan panggilan hidup setiap kita, kepekaan untuk mengenal Tuhan yang memanggil kita adalah satu proses yang melibatkan banyak waktu dan cara. Barangkali ada dari kita yang memiliki orang seperti Yohanes yang berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah!”. Sedang yang lain memiliki seorang saudara atau saudari yang mengatakan seperti Andreas, “Kami telah menemukan Mesias!”.

Kapan dan bagaimana hal itu terjadi merupakan sebuah misteri yang ada dalam Allah yang memanggil kita. Dan memang bermula dari tindakan Allah sendiri. Yang dituntut dari kita ialah terus-menerus mengasah kemampuan untuk mengenal Dia yang memanggil. Kebiasaan ini bukanlah tindakan yang perlu di saat kita membuat retret seperti ini, tetapi satu ketrampilan yang mesti selalu dikembangkan sepanjang kehidupan kita. Dan ketrampilan yang demikian adalah ketrampilan dasariah yang mutlak dimiliki oleh mereka yang mau menjawab panggilan Tuhan.

Bagaimanakah ketrampilan itu bisa diasah secara terus menerus? Kapankah saat yang tepat untuk mengasah ketrampilan yang demikian? Thomas Merton pernah menulis dalam meditasi hariannya demikian, “Orang yang takut untuk berada sendirian, tak akan mampu menjadi apapun tetapi selalu mengalami kesepian, tak peduli bahwa dia dikelilingi oleh banyak orang. Tetapi orang yang belajar dalam ketenangan dan mengingat segala sesuatu, yang berdamai dengan kesendiriannya, dia sesungguhnya tahu bahwa Allah menyertainya secara tak kelihatan. Orang seperti ini ada selalu bersama Allah pada setiap tempat, dan dia juga menikmati bagaimana dia ditemani banyak orang. Karena dia mencintai mereka di dalam Allah.”[2]

Jadi menyendiri sambil sadar bahwa Tuhan sedang menyertai kita adalah satu ketrampilan yang sangat diperlukan untuk mengenal kehadiran Allah. Dan ketrampilan ini diperlukan oleh mereka yang terpanggil untuk menjawabi panggilan khusus dari Tuhan. Seorang yang dipanggil hendaknya menjadi orang yang mudah mengenal kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup, dengan cara apapun dan kapanpun.

(2). Kerinduan dan Kesediaan untuk Tinggal Bersama Dia

Pemahaman akan panggilan sebagai proses mengandaikan juga kerinduan dan kesediaan untuk tinggal selalu bersama Allah.

Baik kisah tentang mimpi seorang teman di atas maupun kisah Injil menyiratkan satu tendensi yang sama yakni keinginan untuk tinggal bersama Allah. Tetapi apa maksudnya “tinggal bersama Dia”? Dan mengapa tinggal bersama begitu penting di mata murid yang bertanya ‘Guru di mana Engkau tinggal’?

Menarik memang untuk memperhatikan bahwa penginjil tadi tak bicara tentang apa yang dikatakan selama mereka tinggal bersama, apa yang mereka buat. Karena bagi penginjil tinggal bersama Yesus itulah satu-satunya yang penting. Untuk murid Yesus yang terpenting adalah menemukan di mana Yesus tinggal dan untuk menemukannya mereka harus pergi dan tinggal bersama Dia.

Tinggal bersama Yesus memang sangat penting bagi murid Yesus. Hal ini mendapatkan peneguhannya kemudian ketika Yesus berdoa bagi para muridNya.[3] Jadi untuk tinggal bersama Yesus, para murid harus pertama-tama mengikuti Dia. Dan mengikuti Dia saja sudah merupakan jalan definitif untuk tinggal bersama Dia.

Bagaimana cara tinggal bersama Dia? Panggilan hidup membiara menekankan lebih lanjut, bahwa kita tinggal bersama Dia dalam kemiskinan, tinggal dengan Dia dalam ketaatan, tinggal dengan dengan kerendahan hati, dengan keadilan dan kemurahan hati.

Bila tinggal bersama Yesus adalah sikap dasar murid Yesus, maka dalam doa dan berbagai aktivitas kita sehari-hari hendaknya dimulai dengan pertanyaan “Guru, di mana Engkau tinggal?” Dan atas undanganNya, kehidupan membiara kita menjadi kesempatan di mana kita belajar berada bersama Dia dan kesempatan untuk mengerjakan segala sesuatu seperti Dia melakukanNya.


Catatan :

[1] Tarsis Sigho SVD, Tuhan, di manakah Engkau tinggal?” site http://www.pondokrenungan. com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=1505&next=0
[2] Thomas Merton, Blaze of Recognition, Through the Year with Thomas Merton: Daily Meditations, selected and edited by Thomas P. McDonnell. New York: Doubleday&Comp. Inc. 1983, 33.
[3] Yoh 17, Yesus berdoa kepada BapaNya: “Engkau di dalam Aku dan Aku di dalam mereka.” Jadi inilah tempat tinggal Yesus. Ada di dalam Bapa dan ada di dalam kita.

Copyright © 18 Juni 2009, by Ansel Meo SVD

37. Yesus Memanggil Orang yang Dikehendakinya .... dan Kitapun Dipanggil olehNya

Renungan


Benar bahwa Yesus memanggil banyak orang selama hidupNya, walaupun mesti juga dijelaskan bahwa Ia tak memberikan kriteria tentang orang macam apakah yang dikehendakiNya. Dia panggil semua tipe manusia : nelayan, pemungut cukai, pendosa, orang-orang kebanyakan.
Beberapa di antaranya disebutkan juga namanya, yang lain disebutkan tentang pekerjaan dan profesinya, tetapi juga banyak yang tak disebutkan apapun tentang mereka. Kenapa demikian? Rupanya mereka inilah yang dipakai untuk menunjuk-kan bahwa setiap pembaca Injil dan kita sebenarnya ditunjuk olehnya. Kita juga sudah dipanggil oleh Yesus.


Bacaan


Mt 4: 18 – 22 : Yesus Memanggil Murid-Murid yang Pertama

Pokok Permenungan

Telah sepanjang hari ini, kita bertemu dengan Yesus. Kita bertemu juga dengan mereka yang mengikuti Dia dalam meditasi dan permenungan kita. Kita juga bertemu dengan orang-orang dan peristiwa yang atas salah satu cara telah membuat kita memutuskan untuk bergabung dalam biara. Selain bertemu dan berbincang-bincang dengan mereka, kita tentu juga telah berdoa untuk mereka.


Perjumpaan kita dengan mereka sebenarnya memiliki satu tujuan ini, yakni supaya kita sadar dan tahu bahwa sama seperti mereka, kita yang ada di sini mengalami kejadian serupa. Pribadi yang membuat mereka datang kepadaNya, kini juga membuat kita datang ke sini dengan satu harapan untuk bertemu denganNya.

Dan pengalaman manusiawi kita menunjukkan bahwa tidak begitu gampang untuk mengenali Pribadi Yesus itu, tak mudah mengenali panggilanNya. Mungkin saja sering sekali kita memerlukan bantuan, baik secara sengaja pun yang tak sengaja, yang menghantar kita kepada kesadaran bahwa kita sesungguhnya sedang mendekati Pribadi itu untuk semakin mencintai Dia.

Dilema antara dia dan Dia[1]

Sebuah kisah kecil berikut ini, kiriman Roshalina tentang pergulatannya untuk sungguh mencintai Tuhan, barangkali bisa membantu permenungan kita.

Awalnya.., saya mengikuti Ibadah Kebaktian di Gereja hanya satu kali dalam seminggu, artinya hanya di hari Minggu aku datang beribadah. Namun, berselang beberapa hari kemudian, aku menjadi rajin datang kebaktian, bukan hanya di hari minggu saja, melainkan saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan rohani lain nya, seperti: Mengikuti Ibadah Dewasa Muda, aktif di Family Altar (FA), dll.

Jujur saja ... awalnya,saya mengikuti semua kegiatan di atas bukanlah untuk bertobat, namun karena ada “seseorang” yang menarik perhatian saya. “dia” adalah salah satu pemain musik di Gereja saya, yang saya sukai sejak pandangan pertama. Singkatnya, saya mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan nya,agar senatiasa bisa bertemu dengan “dia”.


Namun.., di suatu Ibadah Raya, Firman Allah yang disampaikan Bapak Gembala tiba-tiba menegurku. Saya merasa Firman Tuhan itu benar- benar tertuju hanya untukku. Ada sesuatu yang kurasakan, penyesalan yang begitu mendalam.tiba-tiba yang ada di pikiranku adalah rasa bersalah.. Kataku dalam hati, “Ah ... orang-orang datang ke Gereja adalah untuk bertemu dengan Yesus ... Tapi kenapa saya malah sebaliknya...” Singkat kata..,karena banyaknya kegiatan-kegiatan Rohani yang saya ikuti itu membuatku “LUPA” pada “dia”

Bahkan.., ada sesuatu yang baru kudapat dan kurasakan setelahnya,semangat yang saya rasakan saat ini,adalah benar-benar dari lubuk hatiku yang paling dalam untuk mengenal “Dia",mengenal Yesus lebih dalam. Dan untuk membuktikan kesungguhanku padaNYA, saat ini saya sedang mengikuti PDK (Pendidikan Dasar Kekristenan), dengan harapan agar saya sungguh-sungguh lebih mengenal Yesus dan mencintai serta melayani Dia sebagai Tuhan dan Juruselamatku.


Hidup Baru adalah kerinduanku, dan itu kudapat saat aku meninggalkan "dia" dan berlari menghampiri "Dia"


***

Memang selalu ada dilema dan konflik ketika kita bicara dan merefleksikan panggilan kita masing-masing. Tak jarang berbagai motiv yang campur aduk bergabung di dalamnya. Tetapi begitulah, ketika Tuhan memanggil, apapun yang terlihat sebagai kontroversial menjadi jalan untuk mempertemukan orang yang dikehendakiNya dengan diriNya.


Inilah yang terjadi dalam Injil yang barusan kita baca di atas. Dalam kisah panggilan murid-murid yang pertama, kita bisa merenungkan dua aspek yang juga vital dalam memahami panggilan kita sendiri. Keduanya ialah (1) Tuhan memanggil dalam rutinitas keseharian karya orang yang dipanggil; dan (2) Kita dipanggil kepada suatu gaya hidup baru, kepada satu komunitas saudara dan saudari.

(a). Medan dan rutinitas karya kita adalah tempat Tuhan menyatakan panggilanNya

Injil di atas mengisahkan bahwa Yesus berjalan menyusur danau Galilea, sebuah tempat yang menjadi sentrum perekonomian dan pusat orang memperoleh penghidupan. Dan Ia melihat orang yang lagi bekerja seperti Petrus dan teman-temannya yang adalah nelayan bersama keluarga mereka. Di tempat yang sama ini Dia juga bertemu dengan Yakobus dan Yohanes serta ayah mereka.

Mereka lagi mencari nafkah, bekerja keras di bidang tugas mereka, sama seperti dengan Matius dalam bacaan yang terdahulu. Mereka yang sedang memiliki kerja dan lagi bekerja inilah yang Ia panggil dengan seruan singkat, “Ikutilah Aku!”. Yesus tidak memanggil mereka yang lagi nganggur, yang tak punya pekerjaan dan orientasi hidup, tetapi Ia memanggil mereka yang memiliki orientasi hidup, mereka yang mau menghidupkan diri dan orang lain lewat kerja mereka.

Dan sangat sering terjadi bahwa mereka ini bekerja untuk suatu kepentingan atau lingkungan yang berlawanan dengan kehendak Allah. Asal tahu saja segala yang berkaitan dengan laut dan danau serta isinya adalah obyek yang dikuasai oleh penjajah. Sehingga bekerja di sini sama artinya bekerja untuk kepentingan penjajah.

Nah kalau Yesus memilih tempat dan medan seperti ini menjadi temapt di mana Ia memanggil para muridNya, Ia tentu memiliki maksud besar terhadap mereka. Memang persis itulah yang terjadi. Yesus mau agar mereka meninggalkan karya yang demikian untuk mendapatkan karya baru yang diarahkan sesuai dengan maksud Allah.

Ada dilema di sini. Sama seperti dilema si Roshalina dalam kisah di atas. Nampaknya ia aktif dalam berbagai kegiatan dengan satu maksud mulia, tetapi yang benar bahwa karena ada daya khusus kehadiran pria yang dia suka di sana. Tapi Tuhan menyadarkan dia lewat firmanNya, sehingga dia berbalik untuk sungguh mencari Tuhan.

Jadi Tuhan yang memanggil dia dan kita lewat keseharian, lewat medan karya kita untuk kepentinganNya, sama seperti Dia telah memanggil Petrus dan kawan-kawannya ketika mereka sedang bekerja untuk kepentingan keluarga mereka.

(b). Dipanggil untuk hidup dalam komunitas saudara dan saudari.

Bila dalam renungan pembukaan Retret ini, saya katakan bahwa panggilan itu selalu dihidupkan dalam komunitas, Injil yang barusan kita bacakan memberikan konfirmasi tentang hal ini sekali lagi. Bahwa kita dipanggil untuk hidup dalam komunitas saudara dan saudari. Ada ikatan kekeluargaan yang didasarkan pada iman akan Yesus Kristus dan juga didasarkan pada kesediaan yang terpanggil untuk menjawab YA atas panggilan itu.

Injil mengisahkan tentang perjumpaan Yesus dengan dua bersaudara. Dua bersaudara pertama adalah Petrus dan Andreas; dan pasangan saudara yang kedua adalah Yakobus dan Yohanes. Juga disinggung pula tentang ayah mereka, terutama Zebedeus yang adalah ayah dari Yakobus dan Yohanes yang ditinggalkan oleh kedua bersaudara ini.

Mengapa kenyataan hidup bersaudara ini disebut penginjil? Untuk apa kata “ayah” disebut hingga tiga kali di sini? Dengan menyebutkan term “saudara” dan “meninggalkan ayah mereka”, kita sebenarnya dihantar pada pengertian sebuah relasi baru antara murid Yesus dengan keluarga alamiah mereka.

Bukan rahasia lagi bahwa keluarga dan kewajiban berumahtangga adalah aspek dasariah yang dituntut dalam perintah Allah[2] dan merupakan tanggung jawab penting dalam kehidupan sebagai warga negara. Bagaimana rasanya bahwa anak yang adalah lambang keberlangsungan hidup keluarga justru meninggalkan ayah mereka? Bukankah sikap meninggalkan ayah yang dilakukan oleh kedua bersaudara ini sungguh menantang nilai-nilai keluarga?

Kenyataan bahwa mereka meninggalkan ayah mereka dan keluarga mereka bukanlah indikasi untuk menyatakan bahwa keluarga itu tak penting. Bukan juga untuk menyatakan bahwa hubungan mereka dengan keluarga putus. Tidak. Tetapi yang mau ditegaskan di sini ialah bahwa komitmen seorang murid kepada Yesus dan upaya mengikuti Dia harus diutamakan di atas segala yang lain.

Apakah ini berkaitan dengan pengorbanan? YA. Pengenalan akan Yesus dan jawaban kita atas panggilanNya menuntut pula pengorbanan dari pihak kita. Tentang hal ini Yesus juga pernah menegaskan bahwa segala sesuatu harus dilepaskan untuk mengikuti Dia.[3]

Jadi pengenalan akan Yesus dan jawaban kita atas panggilan Yesus mengharuskan kita semua untuk melihat komunitas kita sebagai komunitas yang disatukan oleh Yesus Kristus, dan merumuskan kembali semua bentuk hubungan kita dengan keluarga kita ataupun dengan semua mereka yang berhubungan dengan kita sebelumnya.

Kisah Roshalina dalam cerita kecil tadi mengatakan kepada kita bahwa mengutamakan Yesus dan mengesampingkan yang lain, ternyata bisa dilakukan. Kita memang tak akan pernah memutuskan hubungan kita dengan keluarga alamiah kita, tetapi menempatkan Yesus dan kepentingan pelayananNya di atas semua adalah komitmen yang seharusnya kita pilih.

Yesus tidak memanggil semua orang kepada panggilan khusus ini. Ia hanya memanggil orang-orang yang sungguh dikehendakiNya. Dan kita pun dipanggil oleh Dia. Kita dikehendakiNya.


Catatan :

[1] Kisah ini diceritakan oleh Roshalina pada site Pondok Renungan http://www.pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=1314&next=50.

[2] Perintah Allah yang dimaksud adalah 10 perintah Allah atau Dekalog sebagaimana terungkap dalam Keluaran 20,12. Karena itu melahirkan anak menjadi satu jaminan supaya masa tua seseorang terjamin pemeliharaannya.

[3] Lihat Luk 14, 25-27 “... Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya dan anak-anaknya, saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak layak menjadi muridKu.”
Copyright © 18 Juni 2009, by Ansel Meo SVD

36.Renungan Pembukaan : "SIAPAKAH AKU?"

“Siapakah Aku ini?”

Kata Orang, Siapakah Anak Manusia itu?
.... Tetapi, Apa Katamu, Siapakah Aku ini?


Bacaan

1 Yoh 4, 7-14 dan Mat 16: 13-20
Renungan

Rasanya tak berlebihan kalau ada orang yang mengatakan bahwa dalam diri setiap orang yang mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang besar ada kekuatan ekstra yang menggerakkan mereka untuk berusaha maksimal melewati kesulitan itu. Dan satu di antaranya yang sangat menonjol adalah cinta.

Memasuki retret ini, kita akan coba mendalami sejenak panggilan sebagai sebuah misteri yang bersumber dari cinta Allah yang mengasihi setiap orang secara tak terbatas. Kita mau melihat lebih dalam mengapa karena cinta itu, Allah dalam Yesus Kristus itu telah menggerakan begitu banyak orang untuk secara aktif menanggapi panggilanNya dan berusaha menjawab sebuah pertanyaan vital ini, “Siapakah Aku ini?”

Kisah “Ayah yang Luar Biasa”[1]

Ada sebuah kisah yang mengharukan tentang hubungan seorang ayah dengan anaknya yang cacat sejak dari lahirnya. Sang ayah bernama Dick dan si anak bernama Rick. Dick dan Rick Hoyt adalah ayah dan anak, sekaligus salah satu tim yang ikut serta dalam sebuah pertandingan triathlon.[2]

Dick Hoyt, sang ayah yang berusia 65 tahun saat itu, mendorong dan menarik Rick yang hanya dapat duduk dibangku roda karena kondisi tubuhnya yang cacat. Sebenarnya, sejak Rick lahir Dick dan istrinya sudah mengetahui bahwa mereka akan memiliki anak yang cacat. Namun, mereka tetap menerima keadaan Rick.

Pada saat pertandingan triathlon ini akan diselenggarakan, Rick berkata kepada ayahnya apakah ia dapat mengikuti pertandingan itu. Dan tanpa ragu, sang ayahpun bersedia untuk mengikutinya. Jadilah mereka mengikuti pertandingan yang menghabiskan waktu sangat lama itu.

Sepanjang pertandingan, Dick terus mendorong dan menarik Rick. Dick berjuang dengan sekuat tenaga berenang menarik Rick yang terbaring di dalam perahu. Dick berlari mendorong kursi roda Rick tanpa lelah, Dick menggendong Rick memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya, mereka berdua melewati lika-liku perjalanan yang sulit ditempuh dengan waktu yang sangat lama.

Ketika pertandingan usai, dan Rick ditanya mengenai perasaannya saat menjalani pertandingan bersama ayahnya, Rickpun menjawab, ”aku merasa seperti aku tidak cacat, dan aku ingin sekali membiarkan ayah yang duduk di kursi roda ini dan aku yang berlari mendorong dan menariknya.” Ternyata, apa yang Dick lakukan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi Rick.
Memang, Dick adalah ayah yang luar biasa. Ia rela berlari, berenang, mendorong, menarik dan menggendong sang anak sepanjang medan pertandingan. Sekalipun anaknya memiliki keterbatasan, Dick terus ada dengan setia melewati keseluruhan pertandingan itu.

Misteri Cinta Allah dalam Panggilan Hidup Orang Beriman

Siapakah Yesus di mata kebanyakan orang yang mengikuti Dia dan siapakah Dia sesungguhnya bagi para murid, sahabat-sahabat dekatNya yang setiap hari bersama Dia? Inilah sebuah pertanyaan tunggal yang Yesus ajukan kepada mereka. Sebuah pertanyaan yang kalau dijawab, akan menghasilkan tiga dimensi penting tentang panggilan sebagai sebuah misteri cinta yang sumbernya ada pada Allah sendiri.

Dan ketiga dimensi itu adalah : (1) Pengakuan akan peran vital Allah dalam panggilan – Yesus adalah Anak Allah; (2) Kelemahan manusiawi tak menghalangi Allah mewujudkan rencananya lewat orang yang dipanggil; dan (3) Komunitas penuh tantangan sebagai tempat hidupkan panggilan Allah.

Kalau kita amati dengan jeli kisah di atas ini, kita akan temukan juga tiga dimensi cinta dalam perjalanan hidup sang ayah dan sang anak itu. Bahwa ada sebuah pengorbanan yang rela diberikan seorang ayah terhadap anaknya yang sangat terbatas, karena ia punya cinta kasih yang begitu besar. Bahwa karena daya cinta itu begitu kuat, sang anak merasa dia disempurnakan (tak merasa cacat) dan bahwa persekutuan hidup keduanya menyanggupkan mereka berhasil dalam perlombaan (komunitas) yang penuh tantangan itu.

(1) Panggilan Hidup itu Bermula dari Cinta Allah - "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!"

Dimensi cinta Allah yang bisa kita temukan dalam panggilan kita pertama-tama ialah kenyataan bahwa panggilan itu berasal dari Allah yang mengasihi tanpa batas.

Pertanyaan Yesus kepada para murid tentang “siapakah diriNya sesungguhnya” adalah sebuah pertanyaan yang menghantar para murid untuk mengenal Dia secara sungguh mendalam. Mereka diminta untuk tidak hanya ‘ikut rame’ seperti kebanyakan orang yang tertarik menyaksikan berbagai karya ajaib yang dikerjakan olehNya. Mereka diminta untuk menemukan alasan mendalam ‘mengapa mereka mengikuti Dia?’

Dan setelah memberikan berbagai jawaban untuk menjelaskan berbagai pandangan orang tentang Dia, Petrus yang memang sudah dipandang sebagai juru bicara para murid menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”.

Dalam jawaban Petrus yang merupakan juga jawaban komunitas murid Yesus saat itu kita temukan jawaban yang tepat, karena menggambarkan siapa Yesus sesungguhnya. Dalam jawaban ini Petrus setuju dengan apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri sebelumnya dalam Mat 11, 25-27.[3]

Jawaban Petrus menegaskan tentang dua hal bahwa Yesus adalah alat di tangan Allah dan bahwa Yesus memiliki relasi yang erat dengan Allah. Sebuah penegasan bahwa Allah aktif, Allah berinisiatif, Allah memanggil, menciptakan dan menghidupkan. Jadi hidup dan karya Yesus sesungguhnya adalah untuk menjalankan kehendak dan maksud Allah.

Persis inilah yang menjadi inti bacaan pertama di atas, ketika Yohanes mengatakan, “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. [4]

Sang ayah dalam kisah di atas menerima sang anak dengan ketidaksempurnaan tubuh. Seorang ayah yang selalu mau berlari, berenang, mendaki, mendorong dan menarik tubuh sang anak untuk bersama melewati sebuah pertandingan dengan medan yang sangat berat dengan jarak dan waktu yang sangat lama. Seorang ayah yang menyatakan ia bersedia untuk bertanding bersama sang anak sekalipun ia tahu anaknya tidak dapat berbuat banyak. Seorang ayah yang tahu bahwa sang anakpun dapat bertahan dalam pertandingan itu, bahwa sang anak kuat untuk bertanding karena ada ayah disisinya yang dengan setia selalu bersamanya.

Ini sesungguhnya adalah gambaran Allah dalam panggilan kita semua. Dia panggil kita kendati tahu bahwa kita cacat. Dia rela berkorban untuk kita. Bapa yang kasihnya sangat besar sehingga kita dicintainya apa adanya. Bapa yang mau berjalan, berlari, mendaki, mendorong, menarik kita agar kita aman dan kuat. Bapa yang setia bersama kita saat kita senang, susah dan sakit. Ya, Bapa yang patut kita banggakan dan syukuri. Cintanya yang luar biasa selalu tersedia untuk kita. Jadi secara singkat bisa disimpulkan bahwa panggilan kita sesungguhnya bersumber dari Allah yang mencintai kita dengan sempurna. Cinta Allah yang demikian justru dialamatkan kepada kita karena tahu dengan pasti bahwa kita tak sempurna.

(2) Allah Menyempurnakan Orang yang Dipanggil – “sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga”

Hal kedua adalah berhubungan dengan orang yang dipanggil. Bahwa kenyataan kelemahan manusiawi orang yang dimiliki oleh orang yang dipanggil sama sekali tak membatalkan rencana Allah, tetapi memberi kemungkinan agar Allah menyempurnakannya. Namun dalam hal ini sikap aktif di hadapan Allah, berusaha menerimanya dan mengatasinya dengan maksimal juga diminta dari orang yang dipanggil.

Dalam dialog Injil tadi, kita menyaksikan bagaimana Petrus memiliki karakter ‘lebih’ yang dituntut itu. Kadang sekali Petrus terkesan tanpa pikir panjang, selalu mau di depan, dengan akibat bahwa jawaban atau tindakannya sering kali terlihat konyol. Tapi di atas segalanya, Petrus menunjukkan bagaimana ia memiliki komitmen dan perhatian kepada Yesus. Dan bukan kebetulan bahwa nanti ia dipilih untuk memimpin komunitas baru ini.

Reaksi Yesus terhadap jawaban yang ia berikan adalah sebuah pujian dan syukur penuh berkat, “berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.”

Kelemahan manusiawi Petrus sama sekali tak berarti. Sekali lagi penekanan dikembalikan kepada peran Allah. Bahwa Allahlah yang membuat Petrus mengenal Yesus sebagai anakNya yang hidup, Allah yang sama itu sementara berkarya dalam diri Yesus yang memperkenalkan Yesus kepada komunitas murid melalui Petrus.

Dan karena Allah yang sedang berkarya di dalam diri Petrus inilah, dia mendapatkan peran baru, dia diubah menjadi seperti “wadas” dan di dalam Petruspun Allah bekerja untuk mewujudkan rencana cintaNya.

Rasanya adegan yang sama terulang juga dalam kisah di atas tadi. Bahwa si anak menyatakan bersedia untuk ikut bertanding dalam kondisinya yang cacat, sesungguhnya adalah sesuatu yang konyol. Tapi ia meminta untuk menjadi anggota satu tim dengan sang ayah. Dan peran si ayah yang tanpa pantang menyerah mengikutsertakan sang anak membangkitkan kesadaran dalam diri sang anak hingga ketika ditanya kesannya, dia berkata, “Aku merasa seperti aku tidak cacat, dan aku ingin sekali membiarkan ayah yang duduk di kursi roda ini dan aku yang berlari mendorong dan menariknya.” Daya juang dan semangat yang ditampakan sang ayah berpengaruh mengubah sang anak, menyempurnakannya, membuat dia mampu mengatasi kesulitannya.

Persis ini jugalah yang terjadi dalam panggilan kita. Inisiatip Allah memampukan kita untuk mengatasi kesulitan dan kelemahan, dan tanpa ragu orang bisa keluar dari kelemahannya dan membiarkan dirinya digunakan Allah. Dengan demikian yang kita jumpai dalam kenyataan ketika berhadapan dengan orang yang dipanggil bukanlah karena kita bertemu dengan orang yang sempurna tetapi orang yang dengan bantuan Allah mengalahkan kelemahannya demi maksud dan rencana Allah.

(3) Panggilan itu Dihidupkan dalam Komunitas yang Menantang – “Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya”

Dimensi ketiga berkaitan dengan panggilan sebagai misteri cinta Allah ialah bahwa panggilan itu berdimensi komunitas. Panggilan dihidupkan dalam dan melalui komunitas.

Tanpa kesadaran bahwa peran sang ayah bisa membantunya mengikuti perlombaan tadi, sang anak pasti tak akan melamar untuk mengikuti perlombaan. Menjadi “satu tim” dengan sang ayah, memampukan sang anak untuk meminta mengikuti perlombaan. Keduanya menjadi satu kesatuan, satu komunitas yang secara bersama-sama berjuang menyelesaikan lomba.

Penginjil Mateus tadi juga menyimpulkan tentang peran vital komunitas ini bagi kelangsungan hidup para murid yang mengikuti Yesus. Tahu bahwa Petrus dinaungi oleh kuasa Allah, Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku[5] dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."

Baik Petrus dan para murid sebagai orang yang dipanggil menjadi satu komunitas yang pendirinya tidak lain adalah Yesus sendiri. Komunitas orang terpanggil ini memiliki ciri khas khusus yakni pengakuan akan peran dan identitas Yesus dan memiliki komitmen terhadapNya.
Lebih lanjut Yesus juga menunjukkan bahwa komunitas yang demikian bukanlah komunitas yang sempurna, tetapi berjalan menuju kesempurnaan melalui tantangan dan kesulitan. Tetapi karena kuasa Allah menyertai komunitas ini, maka kesulitan macam apapun tak kan mungkin bisa menghancurkannya.

Dan sebagaimana komunitas yang terdiri dari manusia ini memiliki struktur kepemimpinannya, maka oleh Yesus Petrus diberikan kuasa untuk memelihara komunitas ini dan semua mereka yang hidup di dalamnya.

Demikianlah yang terjadi dalam panggilan hidup membiara yang kita hidupi. Panggilan yang bersumber dari cinta kasih Allah kepada masing-masing kita telah kita jawab dengan kesediaan untuk bekerjasama dengan rahmat Allah. Keputusan itu menghantar kita kepada komunitas hidup membiara. Komunitas ini dibangun bukan untuk kepentingan manusiawi belaka, tetapi dengan tujuan yang sesuai dengan rencana Allah, lengkap dengan struktur kepemimpinannya.

Komunitas hidup membiara bukanlah komunitas yang sempurna, tetapi komunitas yang diharuskan untuk mengenal, menyadari dan mengatasi konflik dan tantangan serta kesulitan. Kendatipun demikian, komunitas yang demikian dilengkapi dengan janji Yesus sendiri, bahwa alam maut sekalipun tak akan mampu membinasakannya.

Jadi kalau ada dan berhadapan dengan konflik dan tantangan dalam komunitas biara, itu adalah kenyataan yang mesti kita hidupi. Kenyataan yang mesti digeluti untuk diatasi seraya percaya bahwa janji Tuhan akan menghantar kita semua kepada kesempurnaan panggilan hidup kita.

Catatan :

[1] Lihat Yanthy Aquista, “Ayah yang Luar Biasa”, di P. Renungan http://www.%20pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=1522&next=0

[2] Perlombaan Triathlon yaitu semacam marathon dengan rupa-rupa olah raga seperti lari yang berjarak 26,2 mil, ditambah bersepeda sejauh 112 mil, serta berenang 2,4 mil. Belum lagi mereka harus mendaki gunung dan lain sebagainya. Total keseluruhannya sekitar 3,735 mil.

[3] Ketika Ia mengucap syukur kepada BapaNya, Yesus berkata pula, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat 11, 27). Jadi jawaban Petrus di atas adalah jawaban yang tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Yesus dalam Mat 11: 2-6, ketika Yohanes mengirim muridnya untuk bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu ataukah haruskah kami menunggu orang lain?”

[4] Lihat 1 Yoh 4,9-10.

[5] Kata yang dipakai adalah “ekklesia” dari kitab Suci Septuaginta (LXX) yang berarti perkumpulan atau kongregasi/jemaat milik Allah.

Copyright © 10 Juni 2009 by Ansel Meo SVD

35. Pengantar Edisi Ini : MISTERI CINTA ALLAH DALAM PANGGILAN

Bagi para pembaca, pembicaraan tentang panggilan tentu bukan lagi merupakan sesuatu hal yang baru. Paling kurang kita menyadari bahwa hidup kita melukiskan adanya banyak panggilan. Di antaranya juga panggilan yang dialamatkan kepada kita oleh Yesus sebagaimana akan direnungkan dalam buku sederhana ini.

Ketika kita merenungkannya, kita sadar bahwa panggilan mengindikasikan adanya suatu pertemuan, adanya suatu hubungan dan kontak baik secara sengaja maupun tidak ... dan membawa serta di dalamnya satu pertanyaan fundamental seperti yang diajukan Yesus, “Siapakah Aku menurut orang banyak?” dan “Siapakah Aku menurutmu sendiri?” (Mt 16,13-20).

Permenungan yang mendalam lewat kesempatan sebuah Retret akan sangat membantu kita untuk menggali dan menemukan jawaban atas pertanyaan di atas. Dan jawabannya, entah itu sebuah jawaban sederhana maupun yang sangat komplet merupakan sebuah tanggapan baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas akan panggilan hidup yang sedang kita jalani.

Bagi saya, semakin sering mendalami tema panggilan sambil berusaha menjawabi pertanyaan yang diajukan Yesus di atas, semakin menghantar saya pada suatu kesadaran bahwa panggilan hidup setiap kita sesungguhnya adalah misteri cinta Allah yang tak berkesudahan kepada setiap kita. Tentang bagaimana Tuhan memanggil berbagai orang dan di mana mereka dipanggil, serta kapan mereka dipanggil semakin memperjelas dimensi misteri cinta ini. Belum lagi kalau kita diharuskan untuk menggali apa saja yang menjadi syarat dalam panggilan itu serta tantangan yang menyertainya.

Bahan yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil olahan yang dikemas dalam sebuah retret bagi para calon religius. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena kesempatan retret bersama mereka telah membantu saya sendiri mendalami panggilan saya sendiri.
Dan saya berharap kesederhanaan yang terungkap dalam buku sederhana ini dapat juga memberikan sesuatu yang bernilai dalam permenungan tentang panggilan pembaca sendiri.
Pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus
Minggu, 07 Juni 2009

Anselmus Meo, SVD