SAPAAN PENGASUH


Selamat bertemu buat para pembaca dan pengunjung blog ini. Kiranya Tuhan kita Yesus Kristus, yang memanggil kita semua kepada kesempurnaan hidup dalam Bapa dan kekayaan rohani dalam KerajaanNya menganugerahkan kegembiraan dan kesuksesan dalam hidup, pelayanan dan keseharianmu.

Anda mengunjungi blog RETRET & REKOLEKSI PASTOR UDIK. Saya suka nama itu, bukan saja karena karya pastoral awal saya sebagai imam, saya lewati sambil mengunjungi berbagai kampung yang sering dicap udik alias kurang maju, tetapi juga karena mengingatkan saya, akan Yesus dari Nasareth, pastor dan gembala sejati yang para muridnya adalah orang-orang sederhana, udik dan marginal.

Apa ada persamaan di antara kita yang mengunjungi blog ini dengan para murid Yesus itu? Saya kira ada dan hal itu adalah kesediaan kita untuk duduk sambil mendengarkan DIA, sang Guru Rohani, Maestro Kehidupan yang tengah bersabda kepada kita.

Selamat menikmati sajian di blog sederhana ini. Selamat menarik diri dari keseharianmu dan menikmati detik-detik berharga berada sang Guru, Pastor dan Gembala dari udik, mulai dari Nasareth hingga ke kampung dan dusun udik pengalaman kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita.

Ansel Meo SVD

Jumat, Juni 27, 2008

KITAB SUCI DAN HIDUP RELIGIUS (2)


Kita Membaca Kitab Suci Sebagai Sabda Allah

Dengan langkah gontai Anna memasuki ruang pertemuan itu. „Ah … membosankan! Dia lagi yang datang berikan ceramah hari ini,“ gerutunya dalam hati, sambil mengeluh tentang seorang pemberi ceramah mingguan tentang Kitab Suci.

Tetapi sudah komitmennya untuk terus menghadirinya. „Hari ini kita mulai pertemuan kita dengan membaca bersama Kitab Suci“. „Kenapa mesti membaca lagi dan lagi. Sampai kapankah ini berakhir? Kenapa tidak langsung ke tujuan, yakni ceramahnya saja.“ Sebel rasanya, tapi dia ikut membaca teks yang diminta hari itu.

„Kamu tak perlu mempelajarinya dulu. Tetapi dengan membacanya, kamu akan bisa bertemu dengan Dia yang sedang berbicara“, kata-kata sang guru ini bergema dan terus berulang terngiang kembali di telinganya. „Benarkah aku akan bertemu dengan Dia yang berbicara di sana?“

Diapun membuka Kitab Sucinya, dan mulai membacanya. Dia membaca dan membaca, sampai suatu ketika dia mengangkat matanya dari Kitab Suci itu. Tak ada orang di sana, terkecuali dirinya seorang diri. Dia termenung, “Aku telah membenarkan apa yang dikatakan kepadaku oleh penceramah itu. Ketika membacanya, aku cerasa di sapa sendiri olehNya. Tetani di manakah dia dan semua temanku tadi?” tanyanya kepada dirinya sendiri. Ternyata dia memang tengah tertidur di depan meja belajarnya ketika dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Dia bermimpi tengah mengikuti sebuah ceramah tentang Kitab Suci.

@@@

Hidup Anna memang bukan hidup religius. Tetapi baginya sama seperti bagi semua orang Kristen, inspirasi Sabda Allah harus menemani langkah dan perjuangan hidupnya. Dia merasa wajib untuk membaca Kitab Suci, buku kehidupannya, dan buku kehidupan Gereja.
Bagaimana dengan hidup religius? Haruskah kita membaca Kitab Suci setiap hari? Mengapa?

Membaca Kitab Suci bersifat vital dan harus dilakukan setiap hari, sebagai sebuah bagian integral dari makanan spiritual harian kita dan rutinitas harian kita, seperti halnya kegiatan makan-minum setiap hari. Seperti juga makan-minum setiap hari akan memelihara dan menguatkan kita, maka pembacaan Kitab Suci setiap hari pun akan membawa kekuatan Allah ke dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sejak pembaptisan kita memasuki proses pertumbuhan untuk menjadi gambaran Kristus. Proses ini akan berakhir dengan kebangkitan badan kita ke dalam persatuan kekal dengan Dia. Sepanjang proses itu, Allah terus memanggil kita untuk bertumbuh dalam cinta kasih dan pemuridan. Sepanjang waktu kita harus mendengarkan sabda Allah yang berbicara kepada kita, memberi isyarat kepada kita. Dengan demikian kebutuhan kita untuk membaca Kitab Suci guna mendengarkan suara Allah tak pernah akan selesai.

Kompleksitas Kitab Suci dan kedalamannya tak akan pernah dapat habis digali. Akan tetapi janganlah kenyataan itu dari sejak awal sudah mematahkan semangat kita untuk membacanya. Kita dipanggil untuk membaca Kitab Suci bukan agar lulus ‘test’ pada akhir bulan atau akhir tahun nanti. ‘Test’ kita akan datang pada akhir hidup kita di dunia fana ini, dan yang ditanyakan dalam ‘test’ itu pun adalah ‘cinta kasih’ kita (baca Mat 25:31-46), bukannya keahlian kita dalam hal-ikhwal Kitab Suci. Allah telah memberikan Kitab Suci guna menolong kita untuk lulus ‘test cinta kasih’. Kita juga jangan terlampau risau atas hal-hal yang kita tidak kita ketahui perihal Kitab Suci itu. Seharusnya kita merasa terhibur bahwa Allah telah memberikan kepada kita Kitab Suci sebagai sebuah sarana untuk bertumbuh dalam iman, dalam harapan, dalam cinta kasih, dalam persatuan dengan-Nya.

Allah memberikan kepada kita 1440 menit untuk hidup setiap harinya. Apabila kita menggunakan 15 menit saja dalam sehari untuk membaca Kitab Suci dalam suasana doa, maka hal ini akan membuat perbedaan atas sisanya yang sebanyak 1425 menit. Kalau kita dengan setia memakai beberapa menit setiap hari, sendiri saja bersama sabda Allah, maka usaha ini akan memainkan peranan yang sangat penting sehubungan dengan transformasi kita dalam Kristus.

Kita harus sadar bahwa Kitab Suci bukanlah sebuah ‘book of magic’. Kitab Suci pada dirinya sendiri tidak dapat mengubah hidup kita, berapa banyak pun yang telah kita baca. Akan tetapi Kitab Suci dapat menjadi sebuah sarana di mana Roh Kudus yang sama, yang telah menginspirasikan para penulis Kitab Suci, dapat menginspirasikan kepada kita –bukan hanya untuk memahami apa yang kita baca, tetapi juga memberdayakan kita untuk masuk ke dalam realita yang kita baca. Apa yang suci bagi kita perihal Kitab Suci adalah bahwa, melalui kata-kata yang tertulis dalam Kitab Suci itu kita dapat mendengarkan sabda Allah, dan dengan mendengarkan serta mentaati sabda Allah kita dapat ditransformir menjadi gambaran-Nya sendiri.

Kitab Suci bukanlah sebuah buku untuk dipelajari dan dikuasai seperti buku sejarah, bukan juga seperti buku cerita detektif. Kitab Suci adalah sebuah buku yang setiap hari kita harus kembali kepadanya, membaca kembali nas-nas yang sudah kita kenal, agar kita dapat masuk lebih dalam lagi ke dalam misteri yang diwahyukan oleh nas-nas itu.

Konsili Vatikan II melalui konstitusi Dogmatik Dei Verbum No 13, yang dikutip oleh Buku Katekismus Gereja Katolik no. 101 menjelaskan,
“Untuk mewahyukan Diri kepada manusia, Allah berbicara dalam kebaikan-Nya kepada manusia dengan bahasa manusiawi: "Sabda Allah yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dahulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia"

Dan Katekismus no 104 masih melanjutkan,
“Di dalam Kitab Suci, Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya karena di dalamnya ia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi apa yang sebenarnya Kitab Suci itu: Sabda Allah. "Karena di dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di surga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya, dan berwawancara dengan mereka" (DV 21).

KITAB SUCI DAN HIDUP RELIGIUS (1)

Hidup Religius Tak Bisa Dipisahkan Dari Kitab Suci

Romana Kewa, yang akrab di sapa dengan Anna adalah seorang gadis muda berusia 19 tahun, ketika pertama kali saya bertemu dengannya. Waktu itu saya bekerja sebagai pastor pembantu di sebuah paroKi di Flores di tahun 1994.
Ia barusan tamat SPG, rupanya jurusan Taman Kanak-Kanak, karena ketika itu ia mengajar Taman Kanak-Kanak di parodi serta aktif membimbing anak-anak Sekolah Minggu yang diadakan di paroki saat itu. Seorang gadis cantik memang, apalagi dengan kepandaiannnya membawa diri, banyak orang menyukainya, begitupun anak-anak yang bE bawah asuhannya. Ia juga aktif di Mudika, terutama karena ketrampilannya menyanyi dan kemampuannya melatih rekan-rekannya. Ia luwes, dikenal olEh banyak orang, dan tentu saja dicintai oleh para pemuda yang memang mengincarnya.

Segalanya berjalan normal bagi Anna, sampai saat kunjungan para Suster dari sebuah tarekat yang bekerja di wilayah Keuskupan itu. 9 orang suster muda dikirim oleh tarekatnya untuk mengadakan program ‘hidup bersama orang sederhana’. Dua minggu lamanya mereka brada di sana, tinggal di rumah keluarga, bekerja di kebun, di sekolah, mengikuti pekerjaan sehari-hari dari keluarga di mana mereka tinggal. Dan sebagaimana kebiasaan setempat, malam hari merekapun berdoa rosario bersama bergilir karena saat itu bulan Oktober, bulan Maria.

Di rumah orangtua asuh Anna, menginap juga seorang suster muda, Suster Roslin. Bersama Anna keduanya terasa cocok dalam segalanya, sering bersama bepergian, bahkan Suster Roslin juga pergi membantu Anna mengajari anak-anak TK. Kebetulan sekali usia keduanya sebaya.

Di suatu kesempatan doa bersama, Suster Roslin memimpin mereka dalam sebuah renungan Kitab Suci.
“Barang siapa yang tak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus,” suster membuka renungannya. Ia berbicara lancar, luwes, menyenangkan semua yang mendengarnya, juga Anna. Usai doa itu, ketika hendak tidur, tiba-tiba pintu kamar suster diketuk Anna. Lama tak terdengar jawaban, tidak juga terdengar langkah kaki. Rupanya suster sudah tidur. Tapi Anna mengetuknya lagi. 10 menit berlalu, pintu terbuka, dan suster menatap Anna, “Ada apa Anna?” “Apa kita boleh cerita lagi suster?” tanya Anna. “Mari kita picara di dalam kamar saya.”
Keduanya masuk kamar yang ditumpangi suster Roslin. Mata Anna terpaku di sudut kamar itu. Di atas meja kecil itu masih terdapat lilin bernyala, dan sebuah Alkitab sedang terbuka. “Maafkan saya Suster, saya telah memotong doamu”. “Tak mengapa Anna, lagipula saya sudah selesai tadi”. Dan keduanya melanjutkan cerita mereka, tentang banyak hal dan juga banyak orang dan peristiwa.
Malampun semakin larut, “Kita harus tidur Anna. Nanti kita lanjutkan esok”. Bagi Anna masih ada pertanyaan tersisa di benaknya malam itu. Dan sebelum keluar kamar itu, ia bertanya, “Boleh bertanya yang satu ini suster : mengapa kita mesti mengenal Kitab Suci?”
Suster Roslin memandang wajah Anna. “Saya juga tidak sepenuhnya mengerti Anna, tetani saya melakukannya. Dan sampai kini saya menyukainya. Kalau engkau juga mulai mengenalnya, engkau akan menemukan jawabannya. Selamat tidur Anna”.

&&&

Anna memang amat penasaran menghubungkan hidup suster Roslin dengan doa-doanya. Di sana ia juga mempertanyakan “mengapa Kitab Suci justru menjadi penting dalam pernyataan suster, baik dalam renungan maupun dalam cerita mereka berdua.
“Suster, mengapa kita mesti membaca Kitab Suci?” itulah pertanyaan Anna yang telah dijawab oleh suster Roslin secara sangat menarik minat Anna, “Saya juga tak sepenuhnya mengerti, tetapi saya telah menjalankannya, dan kurasa saya menyukainya”

Haruskah hidup seorang biarawati atau biarawan seperti Suster Roslin dikaitkan dengan Kitab Suci? Jawabannya adalah MEMANG SEHARUSNYA DEMIKIAN. Secara amat sederhana, kita boleh mengatakan bahwa hidup seorang biarawan/wati memang tak bisa dipisahkan dari Kitab Suci. Suster Roslin adalah satu di antara mereka yang menjalankan apa yang dikenal sebagai HIDUP RELIGIUS atau HIDUP BAKTI. Hidup Bakti memang berkaitan erat dengan Kitab Suci, sebagaimana hakekatnya.
Tentang ha lini Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius mengatakan,

“... Adapun sejak awal mula gereja terdapat pria dan vanita yang dengan mengamalkan nasihat-nasihat Injil, bermaksud mengikuti Kristus secara lebih bebas dan meneladaniNya dengan lebih setia. Dengan cara mereka masing-masing, mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah…” (no. 1)
“… a). Tolok ukur terakhir hidup religius adalah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi … (no.2)

Jadi Hidup Religius yang akan dan sudah kita masuki sekarang erat berkaitan dengan Sabda Allah. Dan sabda itu kita temukan dalam Kitab Suci kita. Makanya tidak terlalu heran kalau setiap calon misalnya diminta sebagai kelengkapan waktu masuk, yakni sebuah KITAB SUCI.

1.1. Kitab Suci atau Injil itu adalah Khabar yang mengembirakan. Evangelion = khabar gembira = Injil. Suster Roslin dalam pesannya tadi bilang begini, “Saya tidak banyak mengerti mengapa, tetapi ketika saya melakukannya, saya menyukainya. Dengan kata lain, itu menyukakan hatiku.”

Kita pada akhirnya harus menjadi khabar yang menggembirakan itu, artinya mampu membuat orang lain tergerak untuk mencintai Kitab Suci sebagai Sabda Allah yang menyelamatkan mereka di setiap situasi hidupnya.

1.2. Kita memang dikenal dengan nama yang punya kaitan langsung dengan Injil. Kita adalah orang yang dipanggil secara khusus untuk mengamalkan nasihat-nasihat Injil secara khas yakni dengan mengikrarkan kaul-kaul :

· Kemurnian “demi Kerajaan Sorga“ (Mat 19:12)
· Kemiskinan sukarela seperti Kristus (Mat 8 : 20)
· Ketaatan untuk semata-mata melaksanakan kehendak Bapa (Yoh 4:34)

Kita dikenal khas karena ketiga hal ini, dan tentu ini berkaitan dengan Injil, Kitab Suci. Jadi aneh, kalau menemukan seorang suster, bruder, pastor, frater yang tidak tahu dan tidak mengenal Kitab Suci dengan baik.

1.3. Doa-doa yang wajib untuk kita adalah doa yang sangat bersumber pada Kitab Suci. Doa Offisi, doa Rosario, doa khas serikat dan segala doa yang lainnya pada umumnya bersumber pada Kitab Suci.

Ketika Suster Roslin tadi melakukannya dalam doanya, itu menimbulkan keinginan tahu di hati Anna, gadis yang secara pelahan tertarik akan hidup religius, justru karena pertanyaannya akan Sabda Allah dalam Kitab Suci.
@Anselmo SVD - Roma, 2008

Minggu, Juni 22, 2008

REFLEKSI TTG PANGGILAN DALAM KITAB SUCI (4)

“Menjadi Murid yang Percaya”
-Profil Kemuridan Yesus dalam Injil Yohanes

Pembicaraan tentang murid adalah tema yang yang selalu dikaitkan dengan sekolah, formasi dan pendidikan. Karenanya merupakan tema penting yang selalu didalami dan direfleksikan. Ketika kita memasuki suatu rumah pendidikan seperti novisiat di sebuah biara, tema ini menjadi relevan, justru karena menyentuh inti dari panggilan setiap orang Kristen, yakni orang yang mengikuti Yesus, orang yang bermaksud menjadi Murid Yesus.

Dalam PL dan PB umumnya

Dan tema ini dibicarakan oleh hampir semua penginjil, bahkan Kitab Suci Perjanjian Lama. PL mengenalnya dalam kata “talmid” yang berarti – ‘orang yang belajar’. PL juga membedakan murid atas dua pengertian: yang sempit yakni – orang yang mengikuti pengajaran orang lain yang diterima sebagai guru dan pemimpin dan dalam arti luas, yakni Israel sebagai Murid dari Allah yang adalah Guru - dari siapa mereka menerima pengajaran.
Dalam PB, ketika Yesus memanggil para muridNya, ada kekhasan yang membedakannya dari murid para rabbi Yahudi lainnya. Para murid Yahudi memilih rabbinya untuk mendapatkan ajarannya dan mencontohi cara hidupnya. Kalau ia belajar cukup, ia sendiri bisa menjadi rabbi di kemudian hari. Tapi Yesus yang berinisiatip memanggil para muridNya. Dan komitmen murid Yesus ditujukan kepada Pribadi Yesus dan tugas murid Yesus adalah mewartakan Yesus kepada yang lain. Karena itu, orang Kristen selalu merupakan murid, mereka tak pernah menjadi rabbi (Mat 23:8).

Secara Khusus dalam Injil Yohanes

Yohanes sejak awal Injilnya, memperkenalkan Yesus yang dikelilingi oleh para muridNya. Dua murid yang pertama diundang untuk ‘datang dan melihat’ di mana Yesus tinggal, dan setelah tinggal bersama Dia, mereka kembali dan membawa dua orang lagi untuk bergabung. Kemudian Yesus undang Filipus untuk mengikuti dia. Di kesempatan inilah seorang Israel sejatipun menjadi murid Yesus dalam diri Nathanael (Yoh 1: 29-51).
Yohanes sangat menekankan kepercayaan para murid Yesus. Di Kana, ketika Yesus menyatakan kemuliaanNya untuk pertama kalinya, Yohanes mencatat bahwa ‘para muridNya percaya kepadaNya’ (Yoh. 2:11). Juga ketika Yesus membersihkan Bait Allah, hanya para murid yang mampu menafsirkan tindakan itu secara benar, ‘ ..., barulah teringat oleh murid-muridNya bahwa hal itu telah dikatakanNya dan merekapun percayalah akan KS dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus’(Yoh 2:22). Dan ketika banyak orang meninggalkan Yesus sesudah pengajaran tentang Roti Hidup, Petrus berbicara atas nama mereka semua seraya membaharui imannya, ‘Kami percaya dan tahu bahwa Engkaulah yang kudus dari Allah’ (Yoh 6:69).
Tapi kepercayaan para murid bukanlah iman yang sempurna. Mereka sering kurang percaya. Kita ingat kisah Thomas, sehingga Yesuspun mengatakan ‘berbahagialah yang tidak melihat namun percaya’ (Yoh 20:29). Yohanes memang memperkenalkan banyak orang yang menjadi murid Yesus. Yoh. 4 dan Yoh. 6 menampilkan bahwa Yesus mengumpulkan murid lebih daripada rabbi Yahudi manapun. Orang buta yang disembuhkan adalah murid Yesus (Yoh.9), bahkan Yosef dari Arimatea yang menguburkan jenasah Yesus adalah muridNya secara diam-diam (Yoh.19:38).

Penekanan Yohanes tentang Murid yang Percaya

§ Bagi Yohanes, persoalan murid bukanlah yang terpenting, melainkan Pribadi Yesus Kristus. Yohanes tidak bicara ttg khabar gembira ttg Kerajaan Allah tetapi tentang Yesus sebagai Pribadi Ilahi. Dia bukan mewartakan ttg Kerajaan Allah, tetapi di dalam PribadiNya, Kerajaan Allah itu telah hadir dan nyata.Yohanes memperkenalkan Yesus sebagai Sang Sabda, yang merupakan Putra Tunggal Bapa (Yoh 1:1-18)

§ Dan tujuan Yohanes adalah membangun kepercayaan yang kuat dari para murid terhadap pribadi Yesus yang adalah Allah. Dan karenanya bagi Yohanes, syarat utama murid Yesus adalah dia yang sungguh percaya. Tak heran di akhir Injil dia menulis, ‘....ini semua ditulis agar kamu percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup’ (Yoh. 20.31)

§ Dan percaya kepada Yesus adalah komitmen para murid. Jadi bukan saja percaya kepada pribadiNya tetapi percaya juga kepada apa yang akan terjadi dengan Dia karena, ‘Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup’ (Yoh 14.6).

§ Dan murid yang percaya, dihantar kepada kepenuhan hidup di dalam Dia.

@ P. Ansel Meo SVD - Roma, 2008

REFLEKSI TTG PANGGILAN DALAM KITAB SUCI(3)

Panggilan Matius dan kawan-kawannya
"Mengikuti Dia dengan Segera"
Teks inti : Mat 9 : 9–13;
Baca paralelnya pada Markus 2 : 13-17 dan Luk 5 :27-32
Teks dan Kisahnya :

Yesus tengah berkarya bersama orang banyak. Dia menyembuhkan banyak orang sakit dan menyaksikan begitu banyak orang yang sungguh mengimani Dia. Tetapi di antara banyak orang itu ada juga sekelompok orang yang menyertai perjalanannya bukan dengan dukungan tetapi dengan upaya untuk mencari celah untuk mempersalahkab ajaran dan praktek yang dibuatNya.
Di perjalanan inilah Dia melihat seorang petugas cukai, penagih pajak yang dikenal dengan nama Matius. Peristiwa memberi perhatian kepada orang macam Matius dengan serta merta menarik perhatian banyak orang yang memang sementara bersama Dia. Dan tidak berhenti di situ saja. Yesus menegur dan memanggil orang itu dengan sapaan yang sama yang pernah Ia sampaikan kepada para murid terdahulu. Mencengangkan. “Ikutilah Aku!” itulah kalimat yang ditujukan kepada sang penagih pajak ini, yang di mata orang banyak selalu dicemoohkan, dipandang hina dan berdosa.
Matius lupa segalanya. Dia mengikuti Yesus. Panggilan itu begitu mempesona, begitu menggerakan segala daya tarik Matius, dan seperti kebiasaannya sebelumnya, diapun tanpa pikir panjang mengundang Yesus makan di rumahnya. Sebagai seorang pemungut cukai, dia memang berkecukupan dan termasuk orang berada dan karenanya Yesus dijamunya. Dan juga adalah kebiasaannya bahwa dalam perjamuan seperti itu teman-temannya diundang, orang dari levelnya yang sama, para pemungut cukai tentunya, dan karena mereka memiliki banyak uang, tentu juga banyak dayang-dayang, sekutu bisnis yang datang dan semuanya makan bersama dengan Yesus.
Pada saat inilah para lawannya menemukan bahan untuk mempersalahkan Dia. Dan bukan kepada Yesus alamat pertanyaan mereka, tetapi kepada para muridNya. “Mengapa gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Para murid yang bersemangat dicemoohkan, “lihatlah, guru macam apa yang kalian ikuti? Dia sahabat orang berdosa. Kenapa terus ikut Dia?”
Yesus mendengar dan memberikan pelajaran penting kepada para lawanNya dan membela mereka yang menjamuNya dan membela memberi peneguhan kepada para muridNya. Tiga pelajaran penting bagi para lawanNya disampaikan tetapi aplikasinya ditujukan kepada semua pendengarNya : 1). Orang sakitlah yang perlukan dokter; 2). Yang kukehendaki adalah belas kasihan dan bukan persembahan; 3). Aku datang untuk memanggil orang berdosa.

Pesannya untuk Panggilan Kita :

1. Bagi Yesus, tantangan terhadap tugas dan perutusanNya dialamiNya sejak awal. Dia mengalami bahwa situasi kontradiktif itu selalu mewarnai pelayananNya. Di satu pihak, karya dan sabdanya begitu menarik banyak orang, dan karena itu Dia melakukan banyak pelayanan di sana, tetapi di sisi lain selalu ada yang menantangNya, mereka yang selalu berupaya menemukan dalih untuk mempersalahkan Dia, menentang ajaranNya dan melawan juga para muridNya. Di sini ada kelompok orang banyak yang percaya kepadaNya lalu mengikuti Dia, tetapi ada kelompok para Farisi (orang bijak pandai) yang menantang Dia.

2. Selain kedua kelompok ini ada satu kelompok lain yang ingin mendekati Yesus, merasa tertarik dengan apa yang dia ajarkan, tetapi tak bisa bergabung karena orang banyak mengisolir mereka. Orang banyak membenci mereka, karena mereka ini bekerja untuk kepentingan penjajah dan memasuki mentalitas bobrok dari luar yang bertentangan dengan keyakinan orang banyak. Inilah Matius dan rekan-rekannya, satu kelompok kelas menengah yang kaya, tetapi karena mengambil hak orang lain. Dan bersama mereka adalah para kroninya, dan orang-orang yang mereguk kekayaan mereka, para pelacur, para bodyguard, preman yang melindungi mereka ini. Kelompok ini dibenci dan dijauhkan banyak orang, tetapi Yesus memilih moment ini untuk mendekati mereka dan menjadikan mereka pengikutNya. Kepada Matius dan kelompoknya inilah, panggilan Yesus dialamatkan, “Ikutilah Aku!” Tentu saja panggilan seperti ini mencengangkan bukan saja bagi banyak orang yang sedang ikuti Dia tetapi juga bagi para murid, Petrus dan kawan-kawanNya. Mereka pun bertanya, “Apa yang akan terjadi kalau mereka ini bergabung bersama kelompok baru ini?”

3. Dan Matius segera mengikuti DIA. Mengapa secepat itu? Karena baginya ini momen langka dan lebih dari itu, dia ingin mengembalikan harga dirinya di mata masyarakat. Dan betapapun orang banyak mencemoohkan dia, inilah saat yang tepat dia menunjukkan terimakasihnya kepada orang yang memanggilnya ini, ia menjamu Yesus. Itu kebiasaan yang baik. Dan dia juga ingin melibatkan komunitasnya dan para kroninya. Dan jadilah pesta itu menjadi saat mereka semua duduk bersama Dia, mendengarkan Dia dan lebih dari itu mereka menjamu Dia.

4. Lawan-lawannya menggunakan momen ini untuk melemahkan semangat dan iman para muridNya. Inilah tawaran dunia yang selalu menemukan segala seuatu untuk merelativisir ajaran Yesus. Mengapa terus ikut Dia, tak tahukah kamu bahwa kamu akan dikucilkan dan dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan? Itulah pekerjaan si jahat.

5. Yesus melawan mereka yang cerdik pandai ini tetapi membela baik orang kebanyakan, para murid juga kelompok Matius yang barusan bergabung. Yesus menjelaskan ajaranNya dengan logika yang teratur. Mulai dari hal yang kasat mata dalam hidup sehari-hari : “ orang sakit butuh dokter”; lalui menunjukkan juga inti agama Yahudi dan kebaktian kepada Allah yakni belaskasihan dan secara sangat jelas menunjukkan kekhasan perutusanNya dan perutusan para muridNya : ‘Aku datang untuk menyelamatkan orang berdosa”. Dan itu berarti Yesus menunjukkan kuasa keAllahanNya.
@P. Ansel Meo SVD - Roma, 2008