SAPAAN PENGASUH


Selamat bertemu buat para pembaca dan pengunjung blog ini. Kiranya Tuhan kita Yesus Kristus, yang memanggil kita semua kepada kesempurnaan hidup dalam Bapa dan kekayaan rohani dalam KerajaanNya menganugerahkan kegembiraan dan kesuksesan dalam hidup, pelayanan dan keseharianmu.

Anda mengunjungi blog RETRET & REKOLEKSI PASTOR UDIK. Saya suka nama itu, bukan saja karena karya pastoral awal saya sebagai imam, saya lewati sambil mengunjungi berbagai kampung yang sering dicap udik alias kurang maju, tetapi juga karena mengingatkan saya, akan Yesus dari Nasareth, pastor dan gembala sejati yang para muridnya adalah orang-orang sederhana, udik dan marginal.

Apa ada persamaan di antara kita yang mengunjungi blog ini dengan para murid Yesus itu? Saya kira ada dan hal itu adalah kesediaan kita untuk duduk sambil mendengarkan DIA, sang Guru Rohani, Maestro Kehidupan yang tengah bersabda kepada kita.

Selamat menikmati sajian di blog sederhana ini. Selamat menarik diri dari keseharianmu dan menikmati detik-detik berharga berada sang Guru, Pastor dan Gembala dari udik, mulai dari Nasareth hingga ke kampung dan dusun udik pengalaman kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita.

Ansel Meo SVD

Jumat, Mei 30, 2008

KOMUNITAS UNTUK SAUDARA & PELAYANAN (1)

Renungan Pembukaan :


“Guru, kepada siapakah kami akan pergi?”“Engkaulah Sabda Hidup Kekal!”
(Yoh. 6, 60-71)

Lagu dan DoaPembukaan
Mzm 8: 2-10
Pengantar
Saya memulai renungan pembukaan retret kita ini dengan sebuah kisah sederhana.
Seorang teman dengan penuh rasa sedih bercerita tentang pengalaman hidupnya yang membuatnya sakit. Setelah diam penuh keraguan, akhirnya ia mampu membuka mulut menuturkan kisahnya.
“Seorang teman yang saya kagumi secara tiba-tiba tanpa alasan yang saya ketahui kini berubah sikap. Dulu kami biasa bersama-sama, bermain bersama, daki bukit bersama, atau makan bersama. Saya berusaha mengingat lagi semua percakapan kami di saat-saat yang telah lewat, berusaha demi langit dan bumi mencari alasan yang membuat persahabatan kami menjadi sekian renggang pada akhir-akhir ini. Aku berusaha menemukan dan menghilangkan batu sandungan yang ada di antara kami. Namun semakin aku berusaha semakin pikiranku menjadi gelap. Indahnya persahabatan yang telah dibangun kini berada di pinggir jurang terjal.
Temanku seakan telah mengepak sisa-sisa persabatan kami dan kini disimpannya secara rapi di dalam sebuah kotak yang tak akan pernah dibuka lagi. Berhadapan dengan kenyataan ini, ada jutaan kata dan rasa di dada ini yang tak dapat aku ucapkan. Setiap kali ketika aku membongkar lagi kenangan masa silam, ketika aku melihat lagi foto-foto kenangan yang penuh tawa dan ria, bathinku serasa semakin pedih. Namun temanku tetap saja bersikap dingin, dingin dan dingin ... lebih dingin dari pada es batu di musim dingin. Secara perlahan akupun berubah dingin saat bertemu dengannya.
Waktu terus berlalu. Ketika aku menoleh lagi memperhatikan tapak yang pernah kami tinggalkan bersama, aku menemukan bahwa di bathinku masih ada kerinduan. Aku melihat sepasang tangan yang pernah terulur memberikan bantuan ketika aku terjatuh. Aku mendengar kata-katanya yang meneguhkan dan menguatkan ketika semangatku berubah layu. Aku melihat senyumannya seakan memberikan dukungan. Ah ada kehangatan ... walau itu sudah berlalu. Aku berkata pada diriku, walau ia kini tidak lagi seperti dulu, namun aku masih bisa menyimpan kenangan akan dirinya di salah satu sudut bathin ini. Mungkin ketika bertemu dengannya nanti ia akan tetap bersikap dingin. Namun itu adalah pilihannya. Aku akan memilih untuk memberikan seulas senyum bila aku masih diberi kesempatan bertemu dengannya nanti.
***
Rasanya jarang sekali - paling kurang bagi kita yang ada ini - kita menjalani tahun-tahun pembentukan kita sebagai religius secara sendirian. Kita pasti memiliki teman, entah itu teman-teman seangkatan ataupun saudara-saudari sekomunitas. Biarpun kita mungkin menjadi satu orang dalam seangkatan, kita mengalami masa pembentukan kita dengan pembimbing. Jadi ada komunitas – yang kita kenal sebagai – komunitas religius.
Dan komunitas macam ini menjadi bagian integral dari perjalanan kita, yang membentuk kita dan memberikan kenangan khusus yang akan tetap kita bawa, ke manapun ayunan langkah kaki kita membawa kita. Biasanya, kalau pengalaman berkomunitas itu bagus, menyenangkan, banyak dari antara kita yang selalu menceriterakannya, membanggakannya. Di lain pihak ada pula yang mengakhirinya dengan cara mengepaknya baik-baik dan rapi lalu menyimpannya tanpa mau mengingatnya lagi. Pasti ada kerinduan yang menyertai kita tentang masa-masa pembentukan, yang membuat orang ingin bernostalgia bersama, ber-reuni dan menghidupkan kembali masa-masa pembentukan itu untuk suatu peringatan atau setelah kita mencapai satu tahapan tertentu dalam perjalanan panggilan kita.
Kita buka retret kita hari ini. Dan tema yang akan coba kita dalami bersama tahap demi tahap adalah KOMUNITAS UNTUK SAUDARA DAN UNTUK PELAYANAN. Satu tema yang besar dan luas, tetapi saya kira satu hal mendasar yang tetap berlaku sejak Yesus sampai sekarang ialah bahwa komunitas Murid Yesus yang Sejati hendaknya adalah Komunitas Para Sahabat, karena Yesus Menciptakan Komunitas MuridNya sebagai Sahabat. Karena itu, saya punya satu keyakinan bahwa menjadi anggota komunitas religius memang tak cukup dengan menegakkan semua peraturan secara sempurna, tetapi ketika para anggotanya bisa menjadi sahabat satu bagi yang lain. Dan tentu saja membangun komunitas semacam itu adalah sebuah usaha berkelanjutan, sebuah ziarah atau perjalanan bersama Sang Sabda. Komunitas Yesus, Komunitas Murid Yesus adalah komunitas yang dibentuk sekitar Sabda Allah, yang diwartakan Yesus. Begitupun komunitas Kristen seyogyanya dibangun atas SabdaNya.
***
Teks Yohanes 6 : 60 – 71 :
Murid-murid yang mengundurkan diri di Galilea dan Pengakuan Petrus

6:60 Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?"
6:61 Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?
6:62 Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada?
6:63 Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.
6:64 Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya." Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia.
6:65 Lalu Ia berkata: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya."
6:66 Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
6:67 Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?"
6:68 Jawab Simon Petrus kepada-Nya: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal;
6:69 dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah."
6:70 Jawab Yesus kepada mereka: "Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis."
6:71 Yang dimaksudkan-Nya ialah Yudas, anak Simon Iskariot; sebab dialah yang akan menyerahkan Yesus, dia seorang di antara kedua belas murid itu.

Menjadi anggota komunitas memang bukan hal yang gampang. Apalagi menjadi anggota komunitas religius. Gampang-gampang susah, dan hemat saya memang lebih banyak susahnya, daripada gampangnya. Gampang untuk mengkotbahkannya, tapi sulit untuk merealisasikannya. Tapi apa boleh buat, Sabda Tuhan harus tetap diwartakan. Dan kalau suatu komunitas Kristen sejati harus menjadi komunitas para sahabat, maka di sinilah tempatnya setiap anggota komunitas bertanya tentang jati dirinya, bukan jati diri orang lain. Dan pertanyaan tentang jati diri itu sama pentingnya dengan merelasikannya dengan Sang Guru yang kita ikuti. Jadi pertanyaan pertama dan utama memang ditujukan kepada diri sendiri : “SIAPAKAH AKU DAN SIAPAKAH DIA YANG KUIKUTI?” Bagaimana saya membentuk komunitasku sesuai maksud sang Guru sendiri?
Selain pertanyaan seperti ini, ada banyak pertanyaan lain yang akan muncul ke permukaan, seperti halnya Injil yang barusan kita baca. Kita lihat beberapa poin penting yang ditekankan dari bacaan tadi, sekedar mengingat kembali sambil merefleksikannya secara pribadi.
§ "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?"
§ Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia
§ Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?"
§ Jawab Simon Petrus kepada-Nya: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah."
Ketika Aku Ingin Lari
Seorang ibu berkisah tentang kepedihan pengalaman hidup perkawinannya: "Suamiku amatlah bersifat paternalistik dan amat bersifat mengontrol. Karena itu aku harus tunduk padanya hampir dalam segala hal. Aku tak boleh memiliki pikiran sendiri. Bila ia merasa bahwa gagasan, ide atau pikirannya ditantang, maka ia akan dengan begitu mudah mencaci-maki, serta membuang barang apa saja yang ada di hadapannya. Sungguh, tindakan dan sikapnya selalu membuatku seakan hidup dalam bayang-bayang ketakutan."
"Pada awalnya saya hanya menanggapi segala sikap dan tindakannya dengan deraian air mata. Pernah pula terlintas suatu pikiran untuk melarikan diri dari rumah ini dan meninggalkan suamiku untuk selamanya. Namun setiap kali aku melihat anakku yang masih kecil, anakku yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, maka keinginan ini terpaksa aku pendamkan. Walau aku mencoba untuk menyimpan dan merenungkan semuanya dalam hatiku, namun aku tak memiliki hati seorang Maria sang ibu Yesus. Aku terus dan selalu merasa ada luka yang mengucurkan darah di sudut hatiku."
"Syukur bahwa akhirnya aku lolos dalam ujian masuk perguruan tinggi. Masa-masa belajarku dan kesibukan di kampus membuatku lupa akan kekerasan suamiku. Walau di rumah hanyalah kedinginan serta bentakan kemarahan serta caci-maki yang aku peroleh, namun perlahan-lahan saya akhirnya mampu memiliki suatu pekerjaan yang baik. Aku memaksa diri untuk bekerja sambil belajar. Bukan karena saya adalah wanita yang hebat yang bisa berpijak dalam dua dunia yang berbeda, tetapi karena aku takut berada di rumah. Aku takut melihat kemarahannya yang muncul bagaikan gunung api yang lagi meledak ganas. Aku takut mendengar suara piring dan gelas pecah yang dihamburkan tangan kasarnya."
"Namun empat tahun kegiatan belajarku akhirnya harus berakhir. Kalau dalam empat tahun yang lalu saya hanya bisa bertemunya dalam jangka waktu yang pendek saja, kini hampir setiap waktu aku memandang wajahnya. Setiap saat saya harus bersiap diri menerima serangan musuh yang adalah suamiku sendiri. Namun kali ini aku telah berubah. Kalau dulu aku hanya bisa menangis dan menangis, kini aku memilih diam dan tenang. Ketika amukan kemarahannya datang menghadang, aku akan memegang sebatang pensil dan kutuliskan semua gejolak bathinku menjadi sebuah kisah. Pedihnya hidup sebuah perkawinan yang aku alami kini kubeberkan ke atas sebuah kertas putih. Ia tak hanya membantu menyembuhkan diriku yang terluka, tetapi aku yakin bahwa kisahku juga telah membantu banyak orang yang mengalami hal yang hampir serupa dengan diriku."
"Dan...sebuah mukjizat terjadi. Keputusanku untuk memilih diam ternyata telah menjadi sarana yang ampuh untuk merubah sikap suamiku. Ketika suaranya yang menggelegar hanya disambut oleh keheningan, perlahan-lahan ia merasa tak perlu harus berteriak secara keras demikian. Iapun mulai belajar bagaimana harus diam untuk mendengarkan kata-kataku. Kini...sudah beberapa kali aku berkata pada diriku; aku mencintai keluargaku. Pikiran untuk melarikan diri dari keluarga ini tak akan pernah kembali lagi. Ternyata mimpi akan sebuah kehidupan keluarga yang rukun, tak begitu saja terwujud. Aku pernah harus mencuci mukaku dengan air mata. Aku pernah harus menjadi bagai seorang budak. Namun kini aku menikmati hasil jerih payah yang pernah ditaburkan itu."
Sang ibu yang kini duduk di hadapanku memberikan sebuah senyum. Aku yakin itu adalah senyum kepuasan, senyum yang muncul setelah suatu pergulatan yang panjang.
***
Pengalaman sang ibu dalam kisah ini, boleh jadi tak mengungkapkan kenyataan pemgalaman kita, tetapi saya yakin dalam salah satu cara, pengalamannya mewakili juga pengalaman yang sedang kita alami. Lebih dari itu, pengalaman ini membukakan kita sebuah horison, cara pandang tentang siapakah kita, dan bagaimana seharusnya kita menanggapi situasi yang ‘acapkali keras’ dalam komunitas-komunitas yang kita hadapi.
Ingin melarikan diri dari kenyataan, tentu bukanlah hal yang patut dibuat, mengingat kita sudah terlanjur jauh menapaki perjalanan panggilan kita. Maka menurut pembimbing novisiatku dulu, menghadapi itu semua harus dipertimbangkan untuk dipilih Jalan yang Benar, yang kiranya dapat dilukiskan sebagai :
§ Refleksi Diri dan Hidup untuk menemukan Strategi untuk mengatasi kesulitan hidup
§ Keheningan dan Diam untuk mengatasi keributan dan pikiran untuk lari
§ Belajar dan Menulis untuk merangkumkan gerakan bathin
§ Memutuskan sebuah komitmen untuk Mencintai jalan yang telah dipilih.
Sabda Tuhan yang dipilih untuk refleksi ini juga mencerminkan TANTANGAN yang hampir sama. Yesus bukanlah Guru yang hanya mengedepankan bagi para muridnya sebuah pilihan dan kehidupan yang normal, tetapi sebuah kehidupan yang menantang dan keras. “Barangsiapa mau mengikuti Aku, hendaknya ia memikul salibnya dan mengikuti Aku,” demikian Ia pernah mengingatkan para muridNya. Sebuah perkataan yang keras dan menantang. Dan bagi yang kecil hatinya pasti bisa melarikan diri karenaNya. Maka tak heran, kita dengar tadi, “Perkataan ini keras, siapa yang dapat mendengarkan dan melaksanakannya?” Atau, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”
Tetapi mengapa Ia berbuat demikian? Di sinilah maksud utama pembentukan Yesus disampaikan. Ia mau pertama-tama membuat mereka sungguh MENGENAL JATI DIRI baik DIRI MEREKA SENDIRI, beserta segala gejolak dan kerinduan hati mereka, maupun DIRI SANG GURU yang mereka ikuti.
1. SIAPAKAH AKU SESUNGGUHNYA berhadapan dengan komunitasku? Dan di manakah tempat DIA yang kita ikuti sesungguhnya? Apakah aku sedang melarikan diri? Apakah motivasiku mengikuti Dia cukup murni dan teruji?
2. Apakah AKU SUNGGUH MENDENGARKAN DIA dan SABDANYA?
Bagaimana saya telah mengisi masa-masa kita berada dalam sebuah komunitas sebagai kesempatan mendengarkan DIA dan ROHNYA yang terus berbicara kepadaku?
3. Dan akhirnya APAKAH AKU MEMILIKI KOMITMEN untuk MEMUTUSKAN TENTANG SEBUAH CARA UNTUK MENCINTAI YANG COCOK UNTUK DIRIKU?

@Roma, 2007-2008 - P. Anselm Meo SVD

Tidak ada komentar: