“Berdasarkan Belaskasihan, Bukan Hukuman”
Teks Matius 7: 1-6
1."Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi
2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
6 "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."
2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
6 "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."
Pengantar
Tema tentang bagaimana memberi koreksi atau memperbaiki kesalahan seorang anggota dalam komunitas, yang akan kita bicarakan di sini sebenarnya merupakan perso-alan yang kerap dihadapi oleh ko-munitas beriman, baik komunitas re-ligius maupun ko-munitas - komuni-tas umat basis dalam Gereja dan dalam masyarakat.
Hal ini berkaitan juga dengan hubungan antar anggota komunitas baik dengan sesama anggota maupun dan terutama dalam kaitannya dengan pimpinan. Bahkan sangat mungkin, persoalan seperti ini berubah menjadi krisis yang berkepanjangan dan merusakan keharmonisan hubungan di dalam komunitas, dan berakibat lanjut dalam kehancuran karya dan misi komunitas itu dalam masyarakat.
Karena itu, kita akan mencoba melihat pokok tentang “koreksi persaudaraan” dalam komunitas – komunitas kita dan menggunakan cara melihat yang Yesus maksudkan ketika Dia mengajarkan para muridNya. Hemat saya, teks Injil Matius yang kita ambil untuk meneropong persoalan ini, memiliki banyak nilai yang sangat kaya untuk kita simak bagi kehidupan komunitas-komunitas kita.
Pimpinan yang “sulit”
Suster Rita, baru tiga tahun mengikrarkan kaul – kaul biara dalam biaranya. Usai kaul dia ditempatkan di suatu komunitas di desa di wilayah pedalaman Italia. Rita sendiri demi cita-citanya meninggalkan negeri-nya untuk bergabung dalam for-masi dasar biaranya di Italia.
Sejak penempatan pertamanya, Rita bekerja untuk membantu anak-anak bermasalah yang dititipkan pemerintah wilayah itu kepada biara mereka. Dia juga membantu seorang suster lainnya di Taman Kanak-Kanak milik biaranya di tempat itu.
Suatu saat, ketika saya menelponnya, Sr. Rita menceritakan kepada saya peristiwa yang baru dialaminya.
“Saya harap Pater punya waktu untuk mendengarkan saya. Saya butuhkan bantuan Pater untuk kesulitan saya,” katanya. Saya pun bertanya, “Ada apa suster?” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan pembicaraannya. “Saya tak tahu apakah saya perlu bertindak atau harus diam saja, atas nama ‘kaul ketaatan’ yang saya ikrarkan. Tapi saya kira dia perlu diajarkan tentang bagaimana memperlakukan saudari-saudarinya dalam komunitas. Ini tentang perlakuan pimpinan komunitasku yang keterlaluan terhadap saya, Pater,” Rita memulai kisahnya.
“Coba Rita jelaskan soalnya lebih terperinci,” saya memberanikannya untuk bercerita lanjut.
“Sepanjang hari ini, kami saling berteriak saja, Pater,” lanjutnya. “Dia bilang saya tak buat apa-apa selama ini, hanya pekerja yang kebetulan sangat dekat dengannya, itulah yang bekerja sangat keras di rumah ini. Padahal, itu tak benar. Bermula dari masalah sepatu anak, saya dicapnya sebagai orang yang tak tahu bekerja, santai dan berbagai litania lainnya ... Tapi saya tak akan pergi sebelum saya ajarkan dia bahwa dia salah menilaiku. Saya takkan pergi sebagaimana dua suster sebelumnya yang pergi tanpa pamit karena tak tahan terhadap perlakuannya. Saya akan pergi, tetapi setelah dia tahu bahwa Rita lain dari mereka. Rita tak tega dihina seperti orang yang tak punya martabat. Di rumah, bapak dan mama saya tak pernah memperlakukan saya demikian.” Saya datang karena Tuhan yang memanggilku, dan saya tak akan pergi karena seorang pimpinan yang punya kepribadian sulit seperti dia,” Rita bercerita sambil menahan tangis.
“Sepanjang hari ini, kami saling berteriak saja, Pater,” lanjutnya. “Dia bilang saya tak buat apa-apa selama ini, hanya pekerja yang kebetulan sangat dekat dengannya, itulah yang bekerja sangat keras di rumah ini. Padahal, itu tak benar. Bermula dari masalah sepatu anak, saya dicapnya sebagai orang yang tak tahu bekerja, santai dan berbagai litania lainnya ... Tapi saya tak akan pergi sebelum saya ajarkan dia bahwa dia salah menilaiku. Saya takkan pergi sebagaimana dua suster sebelumnya yang pergi tanpa pamit karena tak tahan terhadap perlakuannya. Saya akan pergi, tetapi setelah dia tahu bahwa Rita lain dari mereka. Rita tak tega dihina seperti orang yang tak punya martabat. Di rumah, bapak dan mama saya tak pernah memperlakukan saya demikian.” Saya datang karena Tuhan yang memanggilku, dan saya tak akan pergi karena seorang pimpinan yang punya kepribadian sulit seperti dia,” Rita bercerita sambil menahan tangis.
“Yang membuatku tambah marah, dia selalu meneriakiku, ‘Mana ketaatanmu, Rita?’ Engkau baru kaul sementara, engkau harus ikut apa yang saya perintahkan! Kalau tidak, kamu akan tahu bahwa saya akan panggil pimpinan umum untuk mengurus sikapmu.’ ‘Che obedienza! Mai obligo me stesso ad una superiora bruta come lei,’ kisah Rita bercampur bahasa Italia, yang artinya, “Ketaatan macam apa? Saya tak akan pernah mewajibkan diriku untuk taat kepada seorang pimpinan jahat seperti dia”)
Kurasakan kemarahan yang tak tertahankan dalam ungkapannya ini. “Tetapi … Pater, bagaimana saya harus menghadapinya?” tanyanya lanjut.
“Jangan kamu menghakimi! Atau “Janganlah kamu mempermainkan Allah dengan menghakimi saudara dan saudarimu!”
Kalau kita lihat dari asal-usul katanya, kata “menghakimi” yang digunakan di sini adalah terjemahan kata kerja (Yun:) Κρίνώ (krinό) – bahasa Inggrisnya crisis – dan kita terjemahkan sebagai “krisis” atau lebih tepatnya “kritik”.
Kata kerja Yunani ini memiliki banyak arti, antara lain:
(1) memisahkan atau membedakan,
(2) menilai memikirkan, memper-timbangkan
(3) memutuskan, mengajukan,
(4) membawa ke depan pengadilan, mempersoalkan, memperteng-karkan,
(5) menghukum, menghakimi
(6) dan juga memberikan penilaian yang tak menyenangkan tentang sesuatu, mengeritik dan menemukan kesalahan seseorang dengan sesuatu ..
Rupanya soal dan kebiasaan menghakimi seperti dalam cerita Suster Rita barusan, bukan hanya terjadi di dalam komunitas mereka. Soal yang umum terjadi di manapun dan pada waktu kapanpun. Bisa terjadi dalam sebuah komunitas religius, bisa juga dalam hubungan antara saudara dan saudari di sebuah keluarga, dan bisa juga dalam sebuah komunitas umat basis. Satu persoal-an yang juga bisa dibilang lintas zaman dan lintas tempat.
Yesus dalam ajaranNya dalam penggalan Injil Matius tentang “Hal Menghakimi” (kita baca dalam Matius 7:1-6) memulai peringatan kepada para muridNya dengan ungkapan “Jangan kamu menghakimi!”.
Yesus menggunakan kata “menghakimi”, yang dalam pemakaian sehari-hari memiliki arti yang bervariasi dan luas, sebagaimana terlihat dalam penjelasan arti kata (etimologi) di atas.
Apakah memang demikian maksud Yesus? Ataukah ada penjelasan lain yang lebih pas untuk kita lihat? Rupanya kita mesti lihat terjemahan yang lebih persis di sini. Kita bisa dibantu untuk melihatnya lebih baik dengan membaca penggalan Injil yang sama, ketika Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaanNya, kamu yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas duabelas takhta untuk menghakimi keduabelas suku Israel.”(Mat 19:28)
Jadi secara persis peringatan Yesus ini berhubungan dengan penghakiman dalam kerajaan Allah, suatu penghakiman yang akan terjadi kelak. Maksudnya jelas yakni : Para murid tidak boleh merampas kuasa dan peranan Allah dalam menghakimi seseorang dan tidak boleh memutuskan nasib seseorang.
Tindakan untuk “menghilangkan” hak seseorang dari keanggotaan dalam komunitas dilarang, bukan hanya karena berlawanan dengan belas kasihan dan kasih sayang, tetapi yang jauh lebih penting ialah bahwa hanya Allah yang melihat segalanya dan mengetahui segalanya-lah yang boleh melakukan peranan untuk menghakimi pada akhir zaman.
Untuk menggarisbawahi permintaan Yesus agar tak seorang pun yang merampas serta mempermainkan Allah dengan menghakimi saudara dan sudarinya, baiklah sekarang kita melihat beberapa penekanan penting dari peringatan dan ajaran Yesus dalam penggalan Injil ini.
1. Hanya Allah saja yang boleh menghakimi:
Penekanan bahwa hanya Allah sajalah yang boleh menghakimi seseorang dalam sebuah komunitas, sebenarnya merupakan penegasan tunggal tentang larangan untuk melakukan setiap bentuk penghakiman. Di hadapan Allah, semua anggota komunitas memiliki status sama: anak-anak Allah. Setiap orang yang menyebut dirinya Murid Yesus menyandang predikat yang sama, anak-anak Kerajaan, yang akan dinilai Allah sendiri pada penghakiman terakhir.
Tidak cuma itu saja. Allah yang punya hak menghakimi itu akan menghakimi setiap orang bukan dengan hukuman, tetapi atas dasar belas kasih dan kasih sayang. Jika Allah yang punya hak tunggal saja sedemikian mengasihi dan berbelaskasihan kepada anak-anakNya, mengapa kita anak-anakNya mesti menghakimi orang yang bersalah?
Nah jika seorang bisa menahan diri dari kebiasaan merampas hak Allah untuk menghakimi sesamanya, berarti boleh jadi ada jaminan pasti bahwa dia tidak akan dihukum ketika Allah menghakimi pada akhir zaman.
2. Prinsip dasar keadilan - Mencabut hak seseorang artinya menghilangkan hakmu sendiri:
Selain menekankan tentang hanya Allah saja yang bisa menghakimi, Yesus menegaskan juga tentang apa yang merupakan prinsip dasar keadilan. Apakah prinsip dasar keadilan itu?
“Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Jelas kiranya, bahwa menghilangkan atau mencabut kesempatan seseorang untuk mendapatkan belaskasih sama artinya dengan menghilang kesempatan bagi dirinya sendiri untuk memperoleh belaskasihan yang sama. Itulah sebabnya, komunitas murid Yesus diperingatkan Yesus untuk tidak pernah membuat keputusan bagi anggota komunitas, yang sedianya baru terjadi pada akhir zaman.
Dengan demikian setiap anggota komunitas disadarkan untuk kenal dirinya sebagai suatu komunitas yang tidak sempurna, komunitas yang sedang dalam perjalanan menuju kehidupan (lihat Mat. 7: 13-14). Identitas komunitas murid Yesus adalah sebuah komunitas yang bertumbuh dalam ketidak sempurnaan (lihat Mat. 5: 48), sebuah komunitas yang bertumbuh dalam kebenaran (lihat Mat. 5: 20), akan terus berlanjut hingga tujuan akhir komunitas itu. Komunitas yang demikian menghidupkan prinsip keadilan dalam komunitasnya.
Persis inilah komunitas di mana setiap anggotanya mempercayakan dirinya kepada belas kasihan Allah.
3. Peringatan tentang kecendrungan dasariah manusia : ‘tak melihat kekurangan sendiri tetapi mudah sekali melihat kesalahan orang lain’:
Hal ketiga adalah sebuah peringatan bagi para murid untuk melihat diri sendiri lebih dulu sebelum menilai orang lain; hal mana merujuk lagi pada kesadaran bahwa manusia pada dasarnya memiliki visi yang tak sempurna.
Lukisan yang dipakai agak berlebihan di sini, tetapi tujuannya jelas, para murid mesti bertolak dari diri sendiri. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”
Menggunakan dua benda dengan ukuran yang berbanding terbalik : selumbar dan balok, memang mau menekankan ketidakmampuan untuk melihat kesalahan dan kekurangan sendiri dan sebaliknya bisa melihat kekurangan yang paling kecil dari orang lain. Keinginan atau pretensi untuk melihat kekurangan orang lain jadi menggelikan di sini justru karena ketakmampuan untuk mengenal diri dan kekurangan sendiri.
Hal seperti ini tidak bisa terjadi terus menerus dalam sebuah komunitas, di mana para anggotanya menamakan diri mereka, saudara dan saudari, anak-anak dari Allah yang sama.
4. Mengoreksi anggota lain dalam komunitas harus dimulai dan mengikuti koreksi diri sendiri:
Lalu, bagaimana berhadapan dengan kesalahan yang dibuat anggota komunitas? Haruskah dibiarkan, ataukah mesti ditangani? Dan dengan cara apa?
Nah, kita berhadapan dengan soal bagaimana memberikan koreksi atau mengoreksi seseorang secara benar. Yesus mengedepankan prinsip dasar tindakan kemuridan; bahwa anggota-anggota komunitas tidak dapat menghukum yang lain. Yesus memberikan alternatif praktis di sini. Apa itu? Pertama sekali, kepada orang yang biasa lihat kekurangan orang tanpa sadar akan kekurangan sendiri disebutnya sebagai “munafik”. Setelah itu, Yesus menunjukkan cara koreksi yang benar: Bahwa koreksi kepada yang lain harus dimulai dan harus mengikuti koreksi terhadap diri sendiri.
Untuk Yesus, syarat pertama koreksi persaudaraan – mesti dimulai dengan - mengeluarkan balok dari matamu, - (mengenal diri sendiri), meneliti diri sendiri (lihat Sirakh 18: 20), barulah engkau akan melihat dengan jelas. Bila ini terjadi maka sekarang, mengeluarkan selumbar itu dari mata orang lain atau saudaramu jadi mungkin.
Koreksi persaudaraan yang mengikuti tindakan mengkoreksi diri sendiri inilah tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam komunitas dan kelanjutan Kerajaan itu di masa yang akan datang. Karena itu di sini Yesus sebenarnya mau menyatakan bahwa, mengoreksi anggota lain dalam komunitas bisa dibuat ketika seseorang sadar akan keterbatasannya sendiri dan membiarkan diri dibentuk oleh Allah dan KerajaanNya serta berbelas kasihan dan memberikan hidupnya bagi yang lain.
Komunitas para murid yang demikian saling memperhatikan satu sama lain dalam ziarah mereka untuk mengambil bahagian dalam kepenuhan kerajaan Allah.
5. Koreksi tidak bisa dipaksakan kepada orang yang tak akan mau menerimanya:
Bagaimana jadinya kalau orang yang dikoreksi tak mau menerima perbaikan saudaranya? Hal kelima dalam pengajaran Yesus di sini bicara tentang tak adanya jaminan sama sekali bahwa efek dari koreksi yang diberikan bisa menghasilkan buah. Jelaslah bahwa koreksi persaudaraan itu tak bisa dipaksakan kepada mereka yang tidak mau menerimanya. Perlu kepekaan ketika mesti berhadapan dengan mereka yang kurang menerima perbaikan orang lain.
Tetapi penting sekali disadari bahwa koreksi persaudaraan yang berguna untuk menghadirkan Kerajaan Allah itu sama nilainya dengan “yang kudus”, yang dalam Imamat 2: 3 dihubungkan dengan persembahan kepada Allah. Nah, orang yang tak mau menerima koreksi persaudaraan atau tak mau sama sekali dibentuk oleh Allah untuk kepentingan kerajaanNya, orang itu menggolongkan dirinya sebagai yang tidak taat, yang dalam perikope ini disejajarkan sebagai “anjing dan babi”, dua simbol binatang yang tak pernah bisa dikoreksi secara baik.
Kepada orang dengan karakter seperti ini tak ada gunanya sedikitpun memberikan koreksi persaudaraan, karena apa yang diberikan akan ditolak bahkan diinjak-injak. Bahkan ketika menghadapi situasi seperti itu, orang yang menawarkanpun, tak diisinkan untuk menghukum orang itu ke penghukuman akhir.
Mempraktekkan - “correctio fraterna – koreksi persaudaraan” dalam komunitas
Kelima hal yang telah coba kita dalami dari penggalan singkat teks Injil Matius ini, jika disimpulkan sebenarnya menawarkan beberapa hal bagi praksis kehidupan komunitas murid Yesus, entah itu komunitas religius, komunitas-komunitas kategorial ataupun komunitas umat basis. Dan hemat saya ada 3 hal yang bisa didalami untuk praksis hidup komunitas.
1. Komunitas dan Kesadaran akan Peran Allah yang Mengasihi dan Penuh Belaskasih:
Ketika saya mencoba menjawab pertanyaan suster Rita “Pater, apa yang harus saya perbuat?” saya sebenarnya bergulat dalam pikiran saya. Ada keinginan untuk mengatakan kepadanya, “Baik juga kalau suster buat sesuatu agar pimpinanmu jera dan bertobat, untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang!” Di sisi lain saya sadar bahwa menganjurkan jalan seperti itu, akan membuat si pemimpin komunitas merasa terluka, hal mana akan menyulitkan proses untuk membangun komunitas atas prinsip kebenaran dan keadilan, sebagaimana diminta Yesus. Dengan kata lain, sebuah pertanyaan penting diajukan di sini, “Jika komunitas itu adalah cerminan komunitas hidup Allah Tritunggal di atas bumi, bagaimana dengan upaya untuk menampilkan wajah Allah yang tidak menghukum, Allah yang mengasihi dan berbelas kasihan?”
Bila kita bertolak dari arti kata dasar yang digunakan untuk menjelaskan “belaskasihan”, kita sebenarnya sedang mengidentifikasikan komunitas kita dengan sifat “rahim” atau suatu kondisi rahim, untuk mengatakan bahwa dalam usaha komunitas menampilkan Allah yang berbelaskasih dan penuh kerahiman. Berhadapan dengan anggota yang bersalah, komunitas yang sadar akan Allah yang maharahim harus berusaha untuk menjadi rahim bagi seluruh anggotanya, suatu komunitas yang mencerminkan hubungan yang tak terpisahkan antara anak yang datang dari rahim yang sama. Orang Israel memang suka mengungkapkan pemahaman mereka tentang belas kasihan dan kerahiman Allah dengan kata “rhm” – rahamin, rahum, rahim.
Betapapun bersalah seorang anggota dalam komunitas, dia tetaplah buah dari rahim yang sama, yang bersamanya komunitas harus berusaha untuk lahir baru, hidup secara baru karena kekuatan cinta Allah yang mengasihi mereka semua. Kepada Sr. Rita, saya anjurkan ini, “Kalau memungkinkan, mintalah pembesar kalian (pemimpin yang lebih tinggi) datang. Kepadanya ceritakan versi kejadian menurut anda masing-masing bukan karena kebencianmu kepadanya tetapi karena cinta kasihmu kepada saudara yang bersalah kepadamu.”
Anjuran yang tak sulit untuk dibuatnya. Dua hari kemudian, Pimpinan Umum mereka datang mengunjungi mereka dan berbicara satu persatu dengan mereka. Ia mendengarkan, ia melihat bukti-bukti dan sebagai ibu bagi mereka menunjukkan kesalahan mereka berdua, dan kemungkinan-kemungkinan untuk membangun kembali hubungan yang baik dalam komunitas mereka.
“Terimakasih untuk doamu terutama, segalanya berjalan baik. Memang masih sulit untuk mengulurkan tangan, berdamai, tetapi sekarang tak terdengar lagi teriakan penghinaan itu, dan saya mulai menerimanya sebagai ‘seorang yang lain dari yang dulu’. Pelan tetapi pasti, terasa bahwa sebagai komunitas kami mulai sadar bahwa kami orang-orang yang tak sempurna. Doa kepada Allah yang berbelaskasih bisa merekatkan kembali persaudaraan kami yang rapuh,” tulis Sr. Rita dalam suratnya dua bulan kemudian.
Komunitas ini coba mempraktekkan koreksi persaudaraan dengan pertama-tama sadar akan kerapuhan para anggotanya dan dalam usaha mereka untuk menghidupkan komunitas sebagai rahim, telah menyertakan Allah lewat campur tangan atasan mereka untuk menyelesaikan persoalan mereka. Mereka memang menampilkan kesalahan saudaranya, tetapi dasarnya adalah karena mau mengasihi saudaranya, bukan karena membenci saudaranya. Mengapa? Karena di hadapan Allah yang melihat dan mengenal semuanya, mereka adalah anak-anaknya yang lahir dari rahim Allah yang mengasihi dan menghendaki mereka bertumbuh juga dalam ketidaksempurnaan mereka.
2. Komunitas yang Merefleksikan dan Mengoreksi Dirinya sendiri:
Aspek penting kedua, untuk mempraktekkan koreksi persaudaraan, mesti mulai dari kebiasaan untuk merefleksi dan mengoreksi diri sendiri. Yesus tidak hanya mengeritik tajam kebiasaan yang munafik komunitas-komunitas yang sudah ada waktu itu, tetapi Ia juga memberikan praktek alternatip kepada para muridNya. Memang prinsip dasar tetap sama, bahwa para murid tidak bisa menghakimi sesama mereka, karena hanya Allah yang bisa melakukan hal itu; tetapi mereka “diperbolehkan” hanya dengan satu syarat ini: “jika mereka terlebih dahulu mengoreksi dirinya sendiri.”
Mengapa demikian? Ketika saya menelpon dan coba mengungkit lagi persoalan Sr. Rita, bertanya, ‘Bagaimana mereka akhirnya bisa menyelesaikan masalahnya?’ suster muda yang telah kehilangan kedua orangtuanya, ketika dia masih dalam masa novisiatnya sebagai suster bercerita lanjut. “Mungkin itulah penyelenggaraan Tuhan, di hadapan kami berdua, Pemimpin umum kami bertanya kepada pimpinan komunitasku begini, ‘Apakah suster mau bahwa Rita juga berangkat seperti dua suster lain sebelumnya? Mengapa mereka pergi dengan sakit hati? Kalau ini peristiwa ketiga, yang dialami komunitas ini di bawah kepemimpinanmu, pernahkah suster merefleksikan bahwa mungkin persoalannya ada pada suster, dan bukan pada anggota?’ Jadi, suster Pemimpin Umum tidak percaya saja apa yang dikatakan tentang saya, tetapi memintanya merefleksikan dirinya, gaya kepemimpinannya dan hubungan kami dalam komunitas.”
Pimpinan kongregasi suster dalam kisah ini menyinggung aspek penting dalam memberikan koreksi bagi anggota komunitas, yakni memulainya dengan menilai diri – mengoreksi diri. Yesus juga meminta para muridnya secara sangat jelas, “Keluarkanlah dahulu, balok dari matamu pertama-tama, barulah setelah itu mudah bagimu melihat selumbar di mata saudaramu.” Kebiasaan merefleksikan diri sendiri ini akan membuat orang sadar akan siapa dirinya, dan tidak mudah membicarakan kesalahan orang lain.
Dalam diri Pimpinan Umum, kita melihat juga penting peran mediator, perantara, atau penghubung yang bisa menyatukan kedua pihak. Jadi seringkali perlu juga ada ‘pihak ketiga’ untuk terlibat dalam proses menyampaikan koreksi persaudaraan. Bila dalam sebuah kongregasi peran seperti ini bisa diambil oleh pimpinan yang lebih tinggi, seorang pembimbing spiritual, di komunitas basis atau keluarga bisa diminta bantuan orang lain yang mampu untuk itu. Yang terpenting ialah bahwa orang yang bersangkutan diterima oleh kedua pihak yang bermasalah.
3. Komunitas yang tidak Mengucilkan dan Menghukum Anggota-anggotanya:
Hal ketiga dalam upaya komunitas mempraktekkan koreksi persaudaraan adalah upaya maksimal untuk menjadi komunitas yang merangkul anggota dan tidak mengucilkan anggota, terutama ketika ada yang terlibat dalam masalah dengan komunitas.
Mungkin kita tidak boleh menutup mata pada praktek –praktek yang pernah terjadi pada berbagai komunitas, terutama komunitas religius, misalnya. Ada yang biasa memindahkan anggota yang terlibat dalam konflik, ke komunitas lain, ada yang atas nama ketaatan diharuskan menerima keadaan dan akibatnya orang hidup dalam tekanan, ada pula yang ‘dipromosikan’ untuk tugas belajar dan lain sebagainya. Jalan keluar yang masuk akal, tetapi jika kedua pihak tidak pernah duduk bersama dan menyelesaikannya masalah mereka baik sendiri maupun dengan bantuan pihak lain, maka kita sebenarnya tengah membiarkan suatu penyakit bertumbuh dan berjangkit dalam komunitas dimaksud atau komunitas baru lainnya.
Mengucilkan anggota yang terlibat dalam kesalahan, tanpa mendengarkan dan berbicara dengannya, menciptakan luka serius dalam diri orang bersangkutan dan dalam komunitasnya. Betapapun besar kesalahan seseorang, dalam cara pandang kristiani, dia pasti memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahannya, asal baginya ada ruang dan kesempatan untuk melakukan perbaikan dimaksud. Allah yang tidak menghukum, Allah yang tidak mengucilkan seperti nampak dalam diri Yesus Kristus, mengharuskan kita umatNya untuk tidak pernah mengucilkan seorangpun dari komunitas dan keluarga kita.
Panggilan para murid Yesus dan komunitas di mana mereka berada adalah untuk mengasihi dengan tulus dan penuh kerahiman, seperti sabdaNya, “Kamu adalah muridKu, jika kamu saling mengasihi” (Yoh. 15:12) Karena kasihlah kita dikenal sebagai muridNya, bukan karena kebiasaan untuk mengucilkan dan menghukum seseorang. Karena kata Yesus, “ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Mat 7:2).
Copyright © 10 October 2008 by Anselm. Meo, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar