Renungan Keenam
Sebuah Komunitas yang Mengampuni Berulang Kali
1. Doa dan Lagu Pembukaan
2. Bacaan : Matius 18:21-22
21Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" 22Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
3. Memahami Teks dan Strukturnya
Teks ini memang sangat singkat, sesingkat pesan yang mau disampaikannya, yakni tentang pengampunan. Mengapa pengampunan?
Kita sudah lihat dari renungan kemarin, kita diajak untuk mengusahakan rekonsiliasi dan pendamaian saat konflik dan masalah internal dalam komunitas terjadi. Agar anggota komunitas tidak dikeluarkan dari komunitas atau juga untuk mengusahakan rekonsiliasi total, sangat diperlukan pengampunan yang terus menerus dan berulang-ulang di antara anggota komunitas murid Yesus.
Dan di sini Petrus menjadi juru bicara (lihat Mat 4,18-20; 10,2; 14,18-29) mereka, “Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, (sebagai sapaan murid-murid kepada Yesus – lihat Mat 8,6) sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?"
Pertanyaan di sini bukanlah tentang tanggung jawab pribadi dari orang yang melakukan kesalahan. Sudah dijelaskan sebelumnya dalam Mat 18,15 yakni tentang “mendengarkan” (jika ia mendengarkan engkau) yang melibatkan juga pengenalan akan masalah dan dosa dan meminta pengampunan atasnya. Lebih dari itu, pertanyaan Petrus sebenarnya menyangkut peran dari orang yang bersalah.
Mau disampaikan di sini bahwa kebaikan orang yang menjadi korban untuk mengampuni orang yang bersalah sama sekali tidak menghapus kesalahan serius dari orang yang melakukannya dan tidak juga mengurangi tanggung jawab komunitas untuk menerima orang yang bersalah, bahkan sampai pada kenyataan bahwa dia tidak lagi menjadi anggota komunitas (yang didoakan selalu oleh komunitas).
Lalu tentang angka tujuh (7), mengapa angka 7?
Mungkin hanya mau secara sederhana mencatat banyaknya pelanggaran dan banyaknya pengampunan yang diterimanya. Atau mungkin juga angka ini menggemakan kembali Kitab Imamat 16 dan Imamat 19 sebagaimana dikutip dalam Mat 18,15.
Jawaban Yesus menjelaskan bahwa tidak ada batas, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
4. Untuk Direnungkan
Tema yang diangkat di sini adalah sebuah tema tunggal yang merupakan isu penting dalam komunitas murid Yesus dan kiranya menjadi juga isu penting dalam komunitas-komunitas kita. Tentang pengampunan yang terus menerus dan berulang-ulang.
Beberapa tahun lalu, di Jakarta saya pernah bertemu dengan seorang gadis yang tidak dapat melihat sejak lahir. Saya sangat kagum melihat tangannya yang lentik memainkan melodi gitar saat menyanyikan lagu pujian. Dia begitu sukacita.
Setelah selesai, saya dekati dia dan ngobrol seputar masalah kehidupan.
Ketika saya tanya latar belakang hidupnya, inilah kesaksian yang dia syeringkan kepada saya.
“Ketika dalam kandungan orang tuaku berusaha menggugurkan aku, tetapi ALLAH menghendaki aku lahir. Dan akupun lahir dengan mata tidak dapat melihat. Dari kecil aku diperlakukan dengan tidak wajar dan tidak adil, bahkan aku harus bekerja seperti kakak-kakaknya yang lain yang bisa melihat. Aku sering diejek, dihina bahkan dipukul keluargaku. Yang paling menyakitkan takkala orang tuatu mengusir aku dari rumah.
Akupun bertumbuh menjadi anak yang kasar dan kejam khususnya terhadap anak-anak, bahkan aku sering menyiksa anak kecil. Sekalipun aku tidak bisa melihat, tetapi aku pernah menjadi bos dari sebuah gank.
Awal pertobatanku, ketika aku bersama anak buahku hendak mengadakan keributan pada sebuah acara yang dihadiri artis kondang Nur Afni Oktavia. Sebelumnya aku tidak tahu bahwa acara tersebut adalah KKR ( Kebaktian Kebangunan Rohani ). Ketika kami masuk ruangan, pujian & penyembahan sedang dinaikkan. Saat itu aku menyesal sekali dan mau pulang saja. Sebelum Altar Call, aku merasakan didepanku sepertinya ada layar yang menampilkan semua kejahatanku. Saat itulah aku menangis, menangis .... dan terus menangis dan menangis adalah pantang bagiku waktu itu. Akhirnya aku bertobat saat itu juga. Aku mau lupakan semua masa laluku, aku mau menikmati hidup bersama-NYA.
Akupun permisi baik-baik kepada teman gankku yang lain, dan mereka semua bilang bahwa aku paling lama 2 sampai 3 hari bisa bertahan hidup tanpa mereka. Tetapi satu hal yang Tuhan lakukan dalam hidupku yakni aku dimampukan untuk melewati setiap masalah hidupku”.
Setelah itu sayapun bertanya, "Bagaimana dengan orang tua dan kakak-kakakmu, apakah kamu sudah mengampuni mereka?".
Dia jawab, "Sebelumnya saya sulit mengampuni mereka, bahkan saya bertahun-tahun bergumul untuk bisa mengampuni, dan akhirnya saya pun bisa", lanjutnya. Ketika saya dipukul, diejek, dihina, diusir ....saya rasa semuanya itu belum seberapa ketika DIA diludahi, DIA dicambuk, DIA dimahkotai duri, DIA disalibkan...
DIA tidak bersalah, tetapi mau menanggungnya karena DIA mengasihi saya dan kamu ... begitu dia katakan kepada saya.
Gadis buta ini memang mengisahkan pergulatan kehidupannya tentang bagaimana dia belajar mengampuni. Dan kisah ini memang bertemakan tentang "BELAJARLAH MENGAMPUNI", sama seperti permasalahan yang dihadapi oleh komunitas murid Yesus dalam Injil di atas.
Baik Injil maupun cerita gadis tadi mengatakan kepada kita bahwa Mengampuni itu penting. Mengapa? Karena pengampunan membawa persahabatan. Pengampunan akan membawa pengampunan Allah. Dan pengampunan membawa sukacita.
Saya pernah membaca majalah TIME dalam risetnya tentang pengampunan. Menurut majalah Time Edisi 15 April 1999, pengampunan adalah topik menarik untuk dianalisa dalam sebuah riset. Beberapa hasil penyelidikan menunjukkan bahwa orang yang tidak mengampuni akan meningkatkan stres, kualitas kerjanya buruk, daya pikirnya buruk, dan untuk jangka panjang dapat mengurangi daya penguasaan diri. Beberapa ahli riset mengatakan bahwa ini disebabkan oleh penyakit jantung dan terganggunya sistem syaraf. Dan yang pasti orang yang menyimpan dendam akan kehilangan sukacita. Setiap hari hidupnya dipenuhi dengan kebencian. Jadi untuk mengembalikan sukacita, belajarlah mengampuni.
Mengampuni memang bukan segampang mengucapkannya, tetapi memerlukan pertolongan dari Tuhan sang Maha Pengampun. Mungkin ada diantara kita mengalami seperti ini, kita diejek, difitnah, dipukul, dikucilkan atau lebih parah lagi. Sekarang pilihan ada pada kita, mau apa tidaknya kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita tak ada yang dapat memaksanya, semua tergantung pada kita.... Jika mau, lakukanlah ... karena Tuhan Yesus juga pernah berkata, “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni".
Saya kira ada beberapa hal yang bisa menjadi referensi kita berhubungan dengan pengampunan yang dsampaikan Yesus dalam perikope injil maupun disampaikan oleh kisah gadis buta dalam ceritera di atas.
(a). Semua anggota komunitas tanpa kecuali harus sadar bahwa pengampunan adalah sebuah komitmen panggilan pribadi dan komitmen panggilan komunitas.
Komunitas beriman tidak bisa tidak membuat pilihan ini sebagai pilihan dasar. Artinya kemampuan untuk mengampuni harus menjadi sebuah kemampuan dasar manusiawi dan tindakan iman dasariah. Tidak bisa ditolerir bahwa seorang religius, imam berkata bahwa dia tidak bisa mengampuni orang lain. Mengapa saya katakan sebagai sebuah kemampuan dasar yang harus dilatih dan dibiasakan?
Renungan kemarin mengedepankan tentang prosedur bagaimana mengatasi konflik dan pelanggaran dalam komunitas. Dan tujuan akhir dari prosedur itu tidak lain agar damai dan rekonsiliasi menjadi tetap dan langgeng dalam komunitas.
Kemampuan ini mesti dilatih dan diusahakan. Karena itu penyadaran tentang kesalahan menjadi langkah awal yang penting. Orang bisa mengampuni kalau ia sungguh tahu tentang persoalan dan kesalahan yang dibuat. Orang memahami sejauh mana kesalahan itu mengakibatkan secara negatip sebuah komunitas. Pengampunan mesti dimulai dengan menerima orang yang bersalah sebagai orang yang mampu memperbaiki kesalahannya, dan berpotensi untuk menjadi orang baik kembali. Pengampunan harus dimulai dengan percaya bahwa dia yang bersalah mampu memperbaiki kesalahannya. Itulah fokus pertanyaan Petrus ketika dia pertanyakan peran dari orang yang melakukan kesalahan.
(b). Pengampunan bisa mulai kita berikan dalam doa.
Renungan terdahulu juga menekankan perlunya mendoakan orang yang bermasalah, orang yang bersalah. Adalah tugas komunitas untuk selalu mendoakan anggotanya yang bersalah, anggotanya yang menyimpang agar Tuhan menunjukkan jalan perbaikan dan kesadaran akan kesalahan.
Siapa yang meragukan kuasa doa? Saya selalu dalam memberikan kosili kepada para religius yang sulit mengampuni dan memiliki dendam membara, dengan mengajak mereka untuk mendoakan orang yang bersalah kepada mereka.
Tahun 1993 sebelum tahbisan imam, dalah sebuah retret karismatik seorang imam pembimbing retret menemukan kenyataan bahwa saya juga sulit mengampuni seseorang sejak saya masih berusia 12 tahun. Penemuan dia itu meyakinkan saya bahwa saya memang demikian, karena imam ini tahu ttg siapa saya walaupun saya tak pernah menceriterakan masalah saya kepada dia. Dan nasihatnya waktu itu, “Mulai saat ini sampai hari tahbisan nanti, nama orang itu harus selalu kau sebutkan ketika engkau mendoakan Bapa Kami”.
Sejak saat itu saya melakukannya. Dan hasilnya luar biasa. Hari saya ditahbiskan menjadi imam, saya temukan bahwa piala tahbisan saya tertera nama orang yang amat saya benci itu. Di piala itu tertulis, “kenangan dari ....”
Dan saat saya mengangkat piala itu dan mendoakan kata kata konsekrasi, sayapun memahami bahwa piala itu adalah piala pengampunan. Dan dialah oarng pertama yang saya ampuni sebagai seorang imam.
Kita bisa mengampuni melalui doa. Berdoa membantu kita dengan bantuan Tuhan melihat orang yang bersalah sebagai orang yang bisa kita percayai lagi untuk berubah.
Komunitas diminta untuk selalu mendoakan mereka.
(c). Pengampunan memiliki daya membuka pintu rahmat Allah dan membuka ketertutupan diri kita kepada orang lain. Seperti penelitian majalah TIME di atas, hasilnya menunjukkan akibat negatip dari kebiasaan orang yang tidak bisa mengampuni.
Dan akibatnya ialah orang yang tidak mengampuni akan meningkatkan stres dalam hidupnya, kualitas kerjanya buruk, daya pikirnya buruk, dan untuk jangka panjang dapat mengurangi daya penguasaan diri.
Ini suatu hasil yang mencengangkan dan bagaimana kita bisa mengharapkan pelayanan dari orang-orang yang stress, dari orang yang kualitas kerjanya buruk dan daya pikirnya juga buruk. Bagaimana kita bisa memperoleh pelayanan dan pengabdian dari seseorang yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri?
Belajar mengampuni dalam hidup adalah cara untuk membuka keran-keran rahmat Allah dan mendatangkan sukacita dan persahabatan.
@Roma, 2007-2008, P. Ansel Meo SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar