Renungan Ketujuh / Renungan Tobat
“Akupun Tidak Menghukum Engkau. Pergilah”
Bertobat : Dibebaskan Untuk Menjadi Pencinta yang Efektif
1. Doa Pembukaan :
Tuhan Allah yang Maha belaskasihan, apakah yang akan kami katakan tentang Engkau setelah Engkau menyatakan diriMu dalam diri PuteraMu, sebagai Allah yang Mengasihi kami. Siapakah kami ini sehingga Kaupanggil kami ke dalam persekutuan para kudus, GerejaMu sendiri. Kami cumalah debu tanah ya Tuhan, namun kami percaya bahwa SabdaMu membangkitkan harapan hidup dalam diri kami, SabdaMu menghasilkan pembebasan dalam bathin kami dan membersihkan kami dari dosa-dosa kami. Maka, ya Tuhan, kini kami datang memohon pengampunanMu, kiranya sabdaMu, “Akupun tak menghukum engkau” kini bergema sekali lagi dan mengubah hidup kami. Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami. Amin
2. Bacaan :
Yoh 8:2-11 : Yesus Mengampuni Wanita Berzinah
3. Lagu Tobat :
4. Renungan :
(i). Tuhan dalam Berbagai Pengalaman Pertobatan
Siapakah Tuhan dalam pengalaman pertobatan orang-orang seperti Petrus, Mateus, Thomas, ataupun Paulus yang kita kenal dalam Kitab Suci? Siapakah Tuhan dalam pengalaman santo-santa seperti Ignasius, Agustinus, Fransiskus ataupun pendiri anda?
Pagi hari tadi, kita membuka hari ini dengan meditasi Nama Yesus, nama yang menjadi kekuatan dan benteng hidup, nama yang menggerakkan kita, nama yang mengumpulkan kita dan nama yang memberikan kita keberanian untuk meninggalkan segala sesuatu untuk menjadi pengikutNya.
Orang-orang yang kita jumpai dalam Kitab Suci mungkin pernah mengalami shock, rasa ditantang karena pertemuan mereka dengan Yesus. Namun pada umumnya, perjumpaan yang menantang itu menghasilkan pertobatan karena mereka terbuka kepada Dia, jujur dengan dirinya sendiri dan mengakui siapa mereka di hadapan Tuhan. Mereka tak malu dengan diri mereka sendiri di hadapan Tuhan, karena satu keyakinan mendasar bahwa Tuhan tahu apa yang Dia rencanakan untuk masing-masing mereka. Tuhan dalam pengalaman perjumpaan orang-orang kudus dan para murid Yesus adalah Dia yang mengubah mereka, bukan dengan kekerasan, bukan dengan ancaman, bukan dengan iming-iming janji, tetapi dengan hati yang menerima mereka, dengan pengertian dan dengan kasih sayang. Tuhan yang dirasakan oleh semua mereka adalah Tuhan yang mencintai, Tuhan yang membebaskan mereka dari belenggu, Tuhan yang membebaskan mereka dari dosa, dari perhambaan yang telah melingkungi mereka sepanjang masa hidup mereka.
(ii). Bibit Raja :
Dahulu kala, ada seorang raja di daerah Timur yang sudah tua. Ia menyadari bahwa sudah dekat saatnya ia mencari pewaris kerajaannya. Ia tidak mewariskan kerajaannya itu kepada salah satu dari bawahannya ataupun anaknya, tetapi ia memutuskan untuk melakukan sesuatu hal yang berbeda. Ia memanggil seluruh anak muda di seluruh kerajaannya. Ia berkata, "Sudah saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dan memilih raja yang baru. Aku memutuskan untuk memilih salah satu di antara kalian."
Anak-anak muda itu terkejut! Tetapi raja melanjutkan,"Aku akan memberikan kalian masing-masing satu bibit hari ini. Satu bibit saja. Bibit ini sangat istimewa. Aku ingin kalian pulang, menanamnya, merawatnya dan kembali ke sini lagi tepat 1 tahun dari hari ini dengan membawa hasil dari bibit yang kuberikan hari ini. Kemudian aku akan menilai hasil yang kalian bawa, dan seseorang yang aku pilih akan menjadi raja negeri ini!"
Ada seorang anak muda yang bernama Ling yang berada di sana pada hari itu dan ia, seperti yang lainnya, menerima bibit itu. Ia pulang ke rumah dan dengan antusias memberitahu ibunya tentang apa yang terjadi. Ibunya membantu Ling menyediakan pot dan tanah untuk bercocok tanam, dan Ling menanam bibit itu kemudian menyiraminya dengan hati-hati.
Setiap hari ia selalu menyirami, merawat bibit itu, dan mengamati apakah bibit itu tumbuh. Setelah beberapa minggu, beberapa dari anak muda itu mulai membicarakan mengenai bibit mereka dan tanaman yang telah mulai tumbuh. Ling pulang ke rumah dan memeriksa bibitnya, tetapi tidak ada hasilnya. Tiga minggu, 4, 5 minggu berlalu. Tetap tidak ada hasilnya. Sekarang ini, para anak muda memperbincangkan tentang tanaman mereka, tetapi bibit Ling tetap belum tumbuh, dan ia mulai merasa seperti pecundang. Enam bulan berlalu, tetap belum tumbuh juga. Ia berpikir bahwa ia telah membunuh bibit itu. Setiap orang memiliki pohon dan tanaman yang tinggi, tetapi ia tidak memiliki apa-apa. Ling tidak berkata apa-apa kepada temannya. Ia tetap menunggu bibitnya tumbuh.
Satu tahun berlalu sudah dan semua anak muda di seluruh kerajaan membawa tanaman mereka kepada raja untuk dinilai. Ling putus asa dan tidak ingin pergi dengan membawa pot yang kosong. Tetapi ibunya memberinya semangat untuk pergi dan membawa potnya. Ling harus jujur mengenai apa yang terjadi dengan bibit itu,saran ibunya. Ling sadar bahwa saran ibunya benar. Dan ia pergi ke istana dengan membawa pot yang kosong. Ketika Ling tiba, ia kagum melihat berbagai macam tanaman yang dibawa oleh teman-temannya yang lain. Semuanya indah, dalam ukuran dan bentuk. Ling meletakkan pot yang kosong itu ke lantai dan banyak orang menertawainya. Beberapa merasa kasihan kepadanya.
Ketika raja datang, ia mengamati ruangan itu dan menyalami rakyatnya. Ling berusaha untuk bersembunyi di bagian belakang. "Wah, betapa indahnya tanaman, pohon, bunga yang kalian bawa," kata raja. "Hari ini, salah seorang dari kalian akan ditunjuk menjadi raja selanjutnya!" Seketika, sang raja melihat Ling di belakang ruangan dengan potnya yang kosong. Ia memerintahkan pengawalnya untuk membawa Ling ke depan.
Ling sangat ketakutan. "Sang raja tahu aku seorang pecundang! Mungkin ia akan memerintahkan aku untuk dihukum!" Ketika Ling tiba di depan, sang raja menanyakan namanya. "Namaku Ling," jawab Ling. Semua orang menertawakannya.
Sang raja menenangkan situasi itu. Ia melihat Ling, dan kemudian mengumumkan ke seluruh kerajaan, "Lihatlah, ini raja kalian yang baru! Namanya adalah Ling!" Ling tidak mempercayai apa yang barusan dikatakan raja. Ia bahkan tidak bisa membuat bibit itu tumbuh, mengapa ia bisa menjadi raja yang baru?
Kemudian sang raja berkata, "Satu tahun lalu, aku memberikan setiap orang sebuah bibit. Dan kukatakan kepada kalian untuk mengambilnya, menanamnya, dan merawatnya, kemudian membawanya kembali kepadaku hari ini. Tetapi aku memberikan kalian bibit yang sudah direbus sehingga tidak akan bisa tumbuh. Kalian semuanya, kecuali Ling, membawakanku pohon, tanaman, bunga. Ketika kalian menyadari bahwa bibit itu tidak bisa tumbuh, kalian menukarkan dengan bibit lain. Hanya Ling yang memiliki keberanian dan kejujuran untuk membawakanku sebuah pot kosong dengan bibitku di dalamnya. Maka demikian, ia yang akan menjadi raja yang baru."
(iii). Bertobat : Bebas Untuk Mencintai yang Efektif
Ø Kebiasaan Memproyeksikan Kesalahan sendiri pada orang lain “Perempuan ini tertangkap basah ketika berzinah”
Sudah sejak penciptaan kita tahu bahwa manusia pada dasarnya suka melemparkan kesalahan pada orang lain dan mencari kambing hitam. Kisah Dosa Asal menceritakan tentang hal itu, bagaimana Adam melemparkan kesalahan kepada Eva, dan Eva ketika ditanya, melemparkan kesalahan kepada si ular.
Hal yang sama terulang dalam kisah-kisah lainnya dalam Kitab Suci, dan Injil yang barusan kita baca memberikan affirmasi tentang kecendrungan yang sama. Siapakah sesungguhnya para lelaki yang dengan batu di tangan mereka siap merajam wanita itu? Siapakah yang tahu macam apa perkerjaan si wanita itu, kalau mereka sendiri tak pernah berkontak dengan dia. Bukan tak mungkin mereka, atau beberapa dari antara mereka pernah menikmati pelayanan si wanita itu. Atau paling kurang mereka pernah saling berceritera, menjadikan wanita itu obyek leluconan mereka. Makanya mereka tahu, macam apa si wanita itu.
Mengapa hanya wanita ini saja yang ditangkap basah, di manakah si lelaki yang menyebabkan dia ditangkap basah itu? Mungkinkah mereka ada di antara semua yang membawa wanita itu kepada Yesus? Yesus bertanya kepada wanita itu, “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorangpun yang menghukum engkau?”
Lebih dari itu, biasanya kita suka mencari pendasaran dalam berbagai peraturan dan pengalaman yang lebih dahulu. Injil tadi menampilkan alur yang sama, “Musa dalam Hukum Taurat memerintahkan kita ....” Hampir pasti kita akan mengulangi skenario seperti ini ketika kita berkeinginan untuk menghukum orang lain, menyebarkan kesalahan orang lain, terutama kalau hal ini keluar dari rasa benci kita terhadap mereka. Kita memang bisa mengajarkan orang bertobat, tetapi hendaknya hal itu keluar dari rasa kasih kita kepadanya, bukan sebagai akibat kebencian kita kepadanya.
Dan masih termasuk dalam logika ini, kita pun akan suka sekali mengejek mereka yang bermaksud untuk menolong orang-orang yang sudah tak beruntung nasibnya ini. Para ahli Taurat dan orang Farisi tahu bahwa Yesus pasti akan menolong wanita ini, makanya mereka membawa wanita ini untuk mencobai Yesus.
Ø Yesus mengingatkan mereka akan identitas diri mereka “Kita berasal dari tanah, rapuh dan penuh kesalahan – Siapa yang tak bersalah silahkan lemparkan batu pertama“
Berhadapan dengan kesalahan, pelanggaran dalam hal apa saja dalam biara atau dalam hidup kita sebagai orang Kristen, kita diminta untuk berlaku seperti Yesus. Jangan cepat menghakimi orang, jangan cepat mencaji sempurna. Dan lebih dari itu kita mesti jujur dengan diri, itulah sebabnya tantangan Yesus kepada para penuduh perempuan itu membuat mereka mati kutu, “Barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.”(ayat 7 dan 8).
Siapakah dari antara kita yang tak punya kesalahan? Kita akan mengatakan “Benar, tak seorangpun yang bersih!”. Atau dalam konteks kita, jika kita yang hadir di sini mengatakan, “OK, saya memang ada dosa dan salah tetapi untuk si A, si B saya tak akan pernah mengampuninya, saya tak akan mau mengampuninya. Dia terlalu jahat, dia menyebabkan saya dibenci, saya dikianati, dsbnya.”
Yesus mengingatkan kita, “kita semua dari tanah. Kita penuh dengan kerapuhan. Penuh dengan dosa. Dan kalau kita selalu mendambakan Tuhan mengampuni dosa dan pelanggaran kita, mengapakah kita tak mampu meneruskan pengampunan itu kepada mereka itu? Apakah anda mau melemparkan batu pertama kepada wanita itu? Jika saja si Farisi dan ahli Taurat ada rasa malu, tahu diri, kenapa kita terus bertekun dalam rasa benci mendalam terhadap saudara/i yang bersalah kepada kita?
Kelihatannya mereka pergi dan melarikan diri. Memang dengan tidak melemparkan batu kepada si wanita itu, mereka nampaknya sadar bahwa tindakan mereka menghukum wanita itu salah. Tapi bagi Yesus itu saja tidak cukup. Mereka harus menghadapi wanita itu dan mengatakan pesan yang sama itu. “Karena sadar bahwa kami juga bersalah, maka kamipun tidak menghukum engkau. Itulah pertobatan yang benar. Mesti menyata dalam tindakan untuk mengulurkan tangan, memaafkan wanita itu dan mulai membangun relasi baru dengannya, atas dasar kasih, dan bukan atas dasar obyek pemuasan belaka.
Ø Dengan Yesus kita bisa bercermin diri “Akupun tak menghukum engkau”
Dan cerminan sikap tobat yang benar berhadapan dengan pelanggaran dan kasus-kasus dalam biara adalah sikap Yesus sendiri. Dia membiarkan wanita ini menyelami diri sendiri, melihat sikap hidupnya juga di hadapan para lelaki yang menghukum dia. Dengan menulis di tanah, dia juga mengajak wanita itu melihat hakikat dirinya sendiri yang penuh kelemahan, dan menyadari bahwa jika dia mengulanginya lagi, maka hukuman itu boleh jadi akan menimpalinya.
“Akupun tak menghukum engkau.” Wanita itu tentu tak begitu saja percaya bahwa hukuman itu telah lewat dengan perginya orang-orang itu. Yesus pun dicurigai sebagai salah satu di antara mereka, karena wanita itu tak pernah mengenal Yesus. Dan ketika kata-kata Yesus keluar dan ditujukan kepadanya, sadarlah dia bahwa Yesus berbeda dengan mereka. Yesus tak menghukum dia.
Kita mesti sampai pada sikap Yesus ini ketika berhadapan dengan kesalahan, pelanggaran dan kelemahan serta dosa-dosa orang lain dan akhirnya dosa sendiri. “Akupun tidak menghukum engkau”, itulah yang harus menjadi sikap kita berhadapan dengan dosa orang lain. Kitalah harus menjadi tempat pertama di mana orang yang bersalah bisa berbagi derita, rasa sesaknya dengan kita tentang berbagai hal.
Ø Pergilah, jangan berbuat dosa lagi tetapi kasihilah dengan segenap hati”
Ajakan dan sikap Yesus memang mengembalikan harapan hidup si wanita pendosa itu. Tetapi Yesus dalam setiap ajakannya selalu mengandung penugasan. Kamu dibebaskan kali ini tetapi bukan untuk dibebaskan dan kemudian mengulanginya di masa mendatang. Dan itulah perintah Yesus kepada wanita itu, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Rumusan perintah ini sama artinya dengan “Pergilah engkau. Mulai dari sekarang tinggalkan cara mencintai yang salah itu, yang hanya mengutamakan kenikmatan, yang hanya menjadikan dirimu obyek dan hanya demi uang belaka”. Dan mulailah belajar mencintai lebih sungguh. Mencintai dengan sepenuh hatimu, dengan segenap jiwa dan ragamu.
Dan saya kira dalam pengalaman hidup membiara, orang yang mengalami bagaimana dia dibebaskan dari kesalahan dan rasa bersalah itu akan sangat komit dengan hidupnya, akan bertobat dan menjadi orang baru yang tahu menghargai bagaimana leganya hati dan hidup diampuni oleh orang lain. Wanita itu pasti tak akan pernah melupakan saat keselamatan itu dalam hidupnya. Ia dibebaskan, dia dicintai dan diminta untuk berbuat kasih. Itulah artinya pertobatan yang benar, pertobatan yang sejati.
(iv). Ganjaran dan Jaminan pertobatan : Menjadi pewarta kebangkitan
Jika pertobatan meminta dari kita sikap seperti yang digambarkan di atas, maka kita boleh percaya bahwa ada ganjaran, adanya jaminan dari pihak Allah untuk orang yang bertobat dengan sungguh-sungguh. Allah memberikan pahala, pembebasan dan keselamatan. Pertobatan sejati selalu melahirkan keselamatan, melahirkan kehidupan baru.
Kiranya inilah juga yang dialami oleh wanita pendosa dalam Injil tadi. Permintaan dari Yesus, “Pergilah, jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang, dan mengasihilah dengan kasih yang benar” dijawab oleh wanita itu dengan menjadi pencinta yang ulung, pencinta yang sejati, yang bebas.
Jika benar dugaan banyak orang bahwa wanita yang dilukiskan dalam Injil ini adalah Maria dari Magdala, wanita yang pernah dibebaskan dari 7 roh jahat itu, maka wanita yang bertobat inilah yang dikaruniakan kehormatan untuk menyaksikan kebangkitan Kristus. Dia mungkin Maria Magdalena, atau perempuan-perempuan yang lain yang disebut oleh Injil Lukas (24, 10-11) yang menjadi saksi kebangkitan Yesus dan diminta untuk menyampaikannya kepada para rasul.
Dan jika dialah Maria Magdalena, maka dialah yang pada hari kebangkitan menjadi orang pertama yang disapa Kristus yang bangkit, “Maria!” dan ia menjawab, “Rabuni”. Ia bertobat dan ia tunjukkan pertobatannya dengan mencintai Tuhannya dengan sepenuh hatinya, dengan seluruh jiwanya, maka tak heran Yohanes melukiskan perasaan hati Maria, “Tuhanku telah diambil orang, dan aku tak tahu dimana Dia diletakkan”....dan “Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku di mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya.”
Dan Yesus memberikan tugas kepadanya, “Pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka...” Dan Maria pun pergi dan berkata kepada mereka, “Aku telah melihat Tuhan”. Maria dipanggil Tuhan dengan namanya, dikenal dan dicintai dan itulah sebabnya ia mewartakan kepada semua saudaranya, “Aku telah melihat Tuhan”. Bertobat berarti juga mampu melihat Tuhan.
(v). Menjadi Manusia Baru – Menjadi Bebas untuk mencintai
Dan orang yang bertobat dan melihat serta mengalami Tuhan dalam hidupnya adalah ciptaan baru. Dia menjadi bebas untuk menjadi pencinta sejati baik dalam mencintai Tuhannya maupun dalam mencintai sesamanya. Seorang yang bertobat secara sungguh-sungguh selalu mampu mencintai dengan tulus dan tak memiliki rasa takut sedikitpun untuk mewartakan Tuhan yang diimaninya.
Maka, jika kita berdoa dan menyatakan tobat kita kepada Tuhan dalam doa, mau tak mau mesti juga bersedia untuk pergi kepada sama saudara kita untuk mewartakan, “Aku telah melihat Tuhan!”
Saudaraku terkasih,
Tuhan menanti kita untuk kembali kepadaNya. Dengarkan seruanNya, “Akupun tidak menghukum engkau, pergilah mengasihilah dengan benar”. Bagi Tuhan, tak ada kata terlambat untuk mendatangi Dia. Mari kita kembali kepadaNya dan mari kita lepaskan batu-batu hukuman dan pengadilan kita kepada sesama kita, seraya memohon kepada Tuhan Yesus, “Tuhan, bagi kami pun masih ada waktu.”
@P. Anselm Meo SVD - Roma, 2007-2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar