SAPAAN PENGASUH


Selamat bertemu buat para pembaca dan pengunjung blog ini. Kiranya Tuhan kita Yesus Kristus, yang memanggil kita semua kepada kesempurnaan hidup dalam Bapa dan kekayaan rohani dalam KerajaanNya menganugerahkan kegembiraan dan kesuksesan dalam hidup, pelayanan dan keseharianmu.

Anda mengunjungi blog RETRET & REKOLEKSI PASTOR UDIK. Saya suka nama itu, bukan saja karena karya pastoral awal saya sebagai imam, saya lewati sambil mengunjungi berbagai kampung yang sering dicap udik alias kurang maju, tetapi juga karena mengingatkan saya, akan Yesus dari Nasareth, pastor dan gembala sejati yang para muridnya adalah orang-orang sederhana, udik dan marginal.

Apa ada persamaan di antara kita yang mengunjungi blog ini dengan para murid Yesus itu? Saya kira ada dan hal itu adalah kesediaan kita untuk duduk sambil mendengarkan DIA, sang Guru Rohani, Maestro Kehidupan yang tengah bersabda kepada kita.

Selamat menikmati sajian di blog sederhana ini. Selamat menarik diri dari keseharianmu dan menikmati detik-detik berharga berada sang Guru, Pastor dan Gembala dari udik, mulai dari Nasareth hingga ke kampung dan dusun udik pengalaman kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita.

Ansel Meo SVD

Senin, Oktober 27, 2008

BERTOLAKLAH LEBIH DALAM (10)

“Salib dan Keselamatan serta Tanggapan Kita”


Doa Pembukaan :

Lagu : Lihatlah Salib Terpancang dari Album BENTARA SABDA, 2003

Bacaan :
Markus 8, 31 – 38 : Pemberitaan tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikuti Dia

Renungan

Tema dan Kenyataan Keseharian Kita

Kita pasti tak akan kaget kalau menemukan kenyataan bahwa pewartaan Kristen tentang Allah yang adalah Kasih itu juga menyertakan SALIB dan penderitaan sebagai salah satu sendinya. Keselamatan yang dijanjikan Allah kepada semua yang percaya juga mengandung SALIB yang sukar dimengerti, sukar diterima dan bahkan menjadi tanda pertentangan.

Mengapa mesti ada SALIB ? Mengapa ada yang namanya penderitaan, dalam hidup orang Kristen dan khususnya dalam hidup orang yang dipanggil secara khusus. Memang sering tak bisa diterima, tetapi itulah bagian integral keselamatan yang kita cari. Dan persis itulah yang menjadi penegasan dalam hidup Yesus, bahwa jalan kemuridan Yesus tak lain merupakan JALAN SALIB. Mengapa ? Karena rencana Tuhan memang harus sepenuhnya terlaksana, harus sepenuhnya ditepati.

Jalan Murid Yesus adalah Jalan Salib dan Keselamatan yang Dihasilkannya
Implikasi dari pengakuan iman Petrus dan penerimaan akan Salib : Yesus sejak awal mengingatkan Petrus bahwa Mesias yang dimaklumkannya bukanlah raja yang dipenuhi oleh kemuliaan, tetapi seorang Putera Manusia yang menderita.

Yesus akan menderita, tetapi bukan karena Allah marah, Allah menghukum Yesus tetapi karena keganasan para musuh Yesus, yang terkadang adalah sahabat-sahabatNya sendiri.
Dan di sinilah kesetiaan Yesus kepada intensi dan misi BapaNya dibuktikan. Dia harus selesaikan misi ini kendatipun untuk itu, Dia harus menyerahkan hidupNya sendiri. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan Petrus, sang setan itu dan mengatakan, “Petrus, ingat, saya minta engkau untuk ikut saya, maka, beradalah di belakangKu.”

 Mengapa Petrus ditegur? Petrus mau menghindar. Karena ia tahu pasti kalau Yesus lewat jalan itu, maka dia yang ikuti Yesus mesti juga lewati jalan yang sama. Demikianpun yang lainnya. Makanya Yesus berkata, “Jika ada yang mau jadi muridKu, biarlah mereka menyangkal diri dan mengikuti Aku.(8,34). Jadi menjadi murid Yesus sama artinya dengan ambil salib sendiri dan pikul. Dan salib yang dimaksudkan di sini adalah sikap menghindar dari tantangan Injil.

 Kisah kedua tentang Doa seorang Sahabat :

Sebuah kapal karam di tengah laut karena terjangan badai dan ombak hebat. Hanya dua orang lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke sebuah pulau kecil yang gersang. Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, mereka berdua yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa.
Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat untuk membagi pulau kecil itu menjadi dua wilayah. Dan mereka tinggal sendiri-sendiri berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut.

Doa pertama mereka panjatkan, mereka memohon agar diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki ke satu melihat sebuah pohon penuh dengan buah-buahan tumbuh di sisi tempat tinggalnya. Sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.
Seminggu kemudian, lelaki yang ke satu merasa kesepian dan memutuskan untuk berdoa agar diberikan seorang istri. Keesokan harinya, ada kapal yang karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang berenang dan terdampar di sisi tempat lelaki ke satu itu tinggal. Sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki ke dua tetap saja tidak ada apa-apanya.

Segera saja, lelaki ke satu ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya,seperti keajaiban saja, semua yang diminta hadir untuknya. Sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, lelaki ke satu ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi harinya mereka menemukan sebuah kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki ke satu dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap untuk berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan lelaki ke dua yang tinggal di sisi lain pulau. Menurutnya, memang lelaki kedua itu tidak pantas menerima berkah tersebut karena doa-doanya tak pernah terkabulkan.

Begitu kapal siap berangkat, lelaki ke satu ini mendengar suara dari langit menggema, "Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?" "Berkahku hanyalah milikku sendiri, karena hanya doakulah yang dikabulkan," jawab lelaki ke satu ini. "Doa lelaki temanku itu tak satupun dikabulkan. Maka,ia tak pantas mendapatkan apa-apa." "Kau salah!" suara itu membentak Membahana. "Tahukah kau bahwa rekanmu itu hanya memiliki satu doa. Dan, semua doanya terkabulkan. Bila tidak, maka kau takkan mendapatkan apa-apa."
"Katakan padaku," tanya lelaki ke satu itu. "Doa macam apa yang ia panjatkan sehingga aku harus merasa berhutang atas semua ini padanya?" "Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!"

Kesombongan macam apakah yang membuat kita merasa lebih baik dari yang lain? Sadarilah betapa banyak orang yang telah mengorbankan segala sesuatu demi keberhasilan kita. Tak selayaknya kita mengabaikan peran orang lain, dan janganlah menilai seseorang/sesuatu hanya dari "yang terlihat" saja. Maka salib kedua yang kita harus pikul adalah kesediaan untuk menanggalkan kesombongan dan Godaan untuk menjadi orang penting dalam kerajaan Allah (bdk juga, Mrk 9 : 37), menganggap komunitasnya sebagai kelompok lebih penting dari yang lain.

 Salib ketiga adalah melepaskan keterikatan terhadap kekayaan : Saya teringat satu kisah dari pengalaman saya sendiri, setelah menyelesaikan studi di Roma tahun 1999. Saya dihadiahkan sebuah tustel (alat foto) yang sangat canggih saat itu, dengan harga yang tak bisa dibilang murah untuk ukuran Indonesia.
Saya membuat banyak foto dokumentasi dengan alat itu, dan karena agak rumit pengoperasiannya, saya tak pernah memberikan kepada orang lain bagaimana menggunakannya. “Cukup saya yang menggunakannya”, karena tokh bisa otomatis pengambilan gambar-gambarnya.

Tapi suatu ketika seorang pegawai saya mau mengambil foto saya ketika sementara memberikan ceramah dalam sebuah pertemuan penting di keuskupan. Entah kenapa, dia tak berhasil mengambilnya dan lebih payah lagi alat itu langsung rusak dan tak bisa digunakan sama sekali. Saya memang berhasil mengeluarkan rol film yang dipakai saat itu tetapi setelah pertemuan itu, saya tak pernah bisa mengambil foto lagi dengan alat itu.

Saya marah, marah sekali. Tetapi ketika menyadarinya, saya berkata kepada diri sendiri, “Ah, betapapun canggihnya alat ini, dia tetap alat yang punya keterbatasan dan tak abadi. Dapat juga rusak. Kalau saya bergembira di saat saya menerimanya sebagai hadiah, kenapa saya mesti menghukum saudaraku ini dengan memarahinya, memintanya ganti rugi, sementara dia tak tahu betapa bernilainya alat ini bagiku? Saya mesti bisa memaafkannya dan melupakan barang ini.” Dan setelah menyatakan maaf itu, saya menjadi amat bebas, tak pernah pikir lagi akan barang berharga itu.
Saya berjuang mengatasi keterlekatan diri dan hidupku, kebergantunganku kepada barang, betapapun dia bernilai untukku saat itu. Dan dari peristiwa itu saya memahami, bahwa saya yang adalah seorang religius mesti memiliki keberanian untuk mengatakan, “Barang dan uang betapapun pentingnya bagi hidup dan karyaku, tak boleh membuatku terbelenggu.” Dan Yesus dalam Injil bilang, “Apa gunanya memperoleh seluruh dunia ini tetapi engkau kehilangan nyawamu?” Hidup membiara meminta kita untuk melepaskan keterikatan dari barang-barang dan uang di dunia ini tetapi melihatnya sebagai alat untuk membantu sesama. Itulah salib ketiga yang mesti kita pikul.

Jadi inilah bentuk-bentuk salib yang akan selalu kita temui baik dalam kehidupan setiap hari mapun terutama dalam kehidupan membiara. Bagi orang terpanggil salib adalah tantangan, dan seharusnya bukan terutama sebagai beban. Karena dalam keyakinan Kristen kita percaya bahwa dari Salib Kristuslah mengalir rahmat penebusan dan keselamatan kita. Maka menanggung Salib dan menerimanya dengan gembira adalah salah satu jalan kemuridan Yesus, dan dalam pemahaman yang demikian kita juga boleh yakin bahwa ada keselamatan yang dibawanya, ketika orang berhasil menanggungnya.

Yesus Menyertai Misi para MuridNya :

Penginjil Markus sebetulnya memperkenalkan Injilnya ini dengan lukisan “Berjalan dari Galilea menuju Yerusalem, dan kemudian dari Yerusalem menuju Galilea.” Bagian pertama adalah jalan salib, Dari Galilea ke Yerusalem sedangkan bagian kedua adalah jalan kebangkitan di mana Yesus berjanji menyertai para muridNya. “ Ia mendahului kamu ke Galilea dan di sana kamu akan melihat Dia”(Mrk 16, 7).

Pesan ini menegaskan juga kepada kita bahwa sesudah salib selalu ada kebangkitan dan penyertaan Tuhan. Kenangan akan hal ini harus dimiliki oleh mereka yang mengikuti Dia, bahwa Yesus adalah Dia yang menyertai kita di manapun medan karya kita. Galilea adalah lambang medan karya itu. Di sanalah Yesus memulai karyaNya di depan umum dan sesudah kebangkitanNya dia mengutus murid-murdiNya untuk mulai berkarya di sana.
Maka rasanya tak berlebihan mengatakan, bahwa di manapun karya kita, kita mesti yakin bahwa Tuhan mendahului kita. Kita Murid yang ikut Dia, maka sumber karya kita semestinya adalah Dia. Kalau begitu, berkarya dalam hidup religius, bukan terutama mulai dengan mencemaskan jaminan, tetapi apakah kita setia pada undanganNya, “Aku mendahului kamu ke Galilea”. Kita mesti berkarya di sana, karena Dia sudah mendahului kita berkarya di sana.

Copyright © 15 September 2006, by Anselm Meo, SVD

Tidak ada komentar: