Renungan Kedua
“Allah Mengasihi Kita Dengan Kasih yang Kekal”
Lagu Pembukaan :
Judul Lagu : Aku Percaya berkatMu Atasku Melimpah (Track 4)
Album : Yesus Benteng Hidupku
Bacaan :
Yer 31 : 1 – 6 : Allah Mengasihi dengan Kasih yang Kekal
Renungan
(Kasih) Tuhan itu Kekal adanya :
Kesadaran yang dimiliki oleh Israel sebagai bangsa tentang Allah ialah bahwa Allah mengasihi mereka dan kasih Allah itu kekal, tak terbersyarat, juga tak bisa pupus karena kenyataan bahwa mereka tak setia. Israel memang dikenal sebagai bangsa pemberontak, pembangkang, yang suka tak setia, walaupun dalam sejarah perjalanan mereka sebagai bangsa mereka terus diberkati.
Dan dalam bacaan tadi, Israel diajak untuk kembali mengenangkan betapa cinta Allah itu kekal untuk mereka. Ayat 3 di atas melukiskan, “Dari jauh Allah menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu. Aku akan membangun engkau kembali.”
Kasih Allah tak pernah luntur kepada bangsa ini, kendatipun mereka terus tak setia. Allah selalu yang berinisiatif menawarkan kepada bangsa ini damai sejahteraNya, mengajak mereka melupakan masa kelam ketika mereka menyangkal kasih setiaNya. Allah selalu membangun kembali jembatan yang dirobohkan oleh kecongkakan hati Israel.
Kisah tentang Jembatan ( Dari Pondok Renungan ) :
Alkisah ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka jatuh ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah pertama kalinya mereka bertengkar sedemikian hebat. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan, saling meminjamkan peralatan pertanian, dan bahu membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerjasama yang akrab itu kini retak.
Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki. Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa. Suatu pagi, seseorang mengetuk rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu. "Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan," kata pria itu dengan ramah. "Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan." "Oh ya!" jawab sang kakak. "Saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ...ah sebetulnya ia adalah adikku.
Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan buldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya." Kata tukang kayu, "Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat tuan merasa senang." Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu.
Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya. Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi.
Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar. "Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku." kata sang adik pada kakaknya. Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi. "Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu," pinta sang kakak.
"Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini," kata tukang kayu, "tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan."
Realitas Konflik dalam Hidup Membiara dan Perlunya Keberanian untuk Mengulurkan Tangan Memohon Maaf :
Kehidupan membiara yang tengah kita masuki sebenarnya adalah sebuah kehidupan yang sendi utamanya dibangun atas landasan kasih Allah. Setiap orang yang terpanggil menyadari hal itu, karenanya dalam berbagai kesempatan orang-orang biara diingatkan tentang pentingnya dimensi cinta Allah yang tak terbatas ini di dalam seluruh aspek hidup mereka.
Kamu para Fransiskan dengan semboyan, “PACE e BENE” sebetulnya meringkaskan sebagai motto hidup anda aspek Cinta Allah ini dalam hidup. Tetapi merumuskan DAMAI dan KEBAIKAN sebagai FONDAMEN atau motto dalam hidup tak berarti tak ada perang dan konflik dalam biara. Rumusan itu muncul karena ada kesadaran akan konflik sebagai bagian integral dari proses dan situasi hidup membiara.
Konflik atau pertentangan akan selalu ada dalam hidup membiara. Nah, kalau itu adalah bagian integral dari cara hidup membiara, maka kita mesti juga berani mengakuinya sebagai kenyataan yang mesti juga kita tangani secara bijaksana. Dan cara itu ditunjukkan oleh Allah sendiri, “Tuhan menampakkan diri kepadanya : Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku akan melanjutkan kasih setiaKu kepadamu.
Konflik akan selalu temukan dalam setiap tahap hidup membiara, karena pada diri kita sendiri telah terkandung konflik itu. Ada konflik kepentingan, konflik minat, konflik dengan institusi, dengan para pemimpin dan konflik di antara kita, dengan sesama kita dan dengan rekan kerja atau dengan orang yang kita layani.
Menangani konflik bisa dibuat dengan berbagai model : model menang – kalah, model menang dan menang, dstnya. Tetapi model tetaplah model dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang terpenting ialah bagaimana anda mencari cara mencintai yang jujur juga dalam konflik itu. Untuk kita, apakah kita dapat melahirkan cinta juga dalam kenyataan konflik itu? Apakah kita mampu menangkap tanda-tanda dan kehadiran yang lain sebagai jalan untuk mempertemukan pribadi-pribadi yang terlibat dalam konflik itu.
Kita dipanggil untuk MEMENANGKAN ORANG, untuk mendapatkan kembali saudara saudari kita, kendati untuk itu kita bisa kehilangan uang, kehilangan waktu, program dan sebagainya. Oranglah yang utama, persaudaraan itulah yang utama, baru setelah itu yang lainnya.
Doa/Lagu Penutup
Copyright © 17 September 2006, by Anselm Meo, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar