“Siapakah Aku ini?”
Kata Orang, Siapakah Anak Manusia itu?
.... Tetapi, Apa Katamu, Siapakah Aku ini?
Bacaan
1 Yoh 4, 7-14 dan Mat 16: 13-20
Renungan
Rasanya tak berlebihan kalau ada orang yang mengatakan bahwa dalam diri setiap orang yang mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang besar ada kekuatan ekstra yang menggerakkan mereka untuk berusaha maksimal melewati kesulitan itu. Dan satu di antaranya yang sangat menonjol adalah cinta.
Memasuki retret ini, kita akan coba mendalami sejenak panggilan sebagai sebuah misteri yang bersumber dari cinta Allah yang mengasihi setiap orang secara tak terbatas. Kita mau melihat lebih dalam mengapa karena cinta itu, Allah dalam Yesus Kristus itu telah menggerakan begitu banyak orang untuk secara aktif menanggapi panggilanNya dan berusaha menjawab sebuah pertanyaan vital ini, “Siapakah Aku ini?”
Kisah “Ayah yang Luar Biasa”[1]
Ada sebuah kisah yang mengharukan tentang hubungan seorang ayah dengan anaknya yang cacat sejak dari lahirnya. Sang ayah bernama Dick dan si anak bernama Rick. Dick dan Rick Hoyt adalah ayah dan anak, sekaligus salah satu tim yang ikut serta dalam sebuah pertandingan triathlon.[2]
Dick Hoyt, sang ayah yang berusia 65 tahun saat itu, mendorong dan menarik Rick yang hanya dapat duduk dibangku roda karena kondisi tubuhnya yang cacat. Sebenarnya, sejak Rick lahir Dick dan istrinya sudah mengetahui bahwa mereka akan memiliki anak yang cacat. Namun, mereka tetap menerima keadaan Rick.
Pada saat pertandingan triathlon ini akan diselenggarakan, Rick berkata kepada ayahnya apakah ia dapat mengikuti pertandingan itu. Dan tanpa ragu, sang ayahpun bersedia untuk mengikutinya. Jadilah mereka mengikuti pertandingan yang menghabiskan waktu sangat lama itu.
Sepanjang pertandingan, Dick terus mendorong dan menarik Rick. Dick berjuang dengan sekuat tenaga berenang menarik Rick yang terbaring di dalam perahu. Dick berlari mendorong kursi roda Rick tanpa lelah, Dick menggendong Rick memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya, mereka berdua melewati lika-liku perjalanan yang sulit ditempuh dengan waktu yang sangat lama.
Ketika pertandingan usai, dan Rick ditanya mengenai perasaannya saat menjalani pertandingan bersama ayahnya, Rickpun menjawab, ”aku merasa seperti aku tidak cacat, dan aku ingin sekali membiarkan ayah yang duduk di kursi roda ini dan aku yang berlari mendorong dan menariknya.” Ternyata, apa yang Dick lakukan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi Rick.
Memang, Dick adalah ayah yang luar biasa. Ia rela berlari, berenang, mendorong, menarik dan menggendong sang anak sepanjang medan pertandingan. Sekalipun anaknya memiliki keterbatasan, Dick terus ada dengan setia melewati keseluruhan pertandingan itu.
Memang, Dick adalah ayah yang luar biasa. Ia rela berlari, berenang, mendorong, menarik dan menggendong sang anak sepanjang medan pertandingan. Sekalipun anaknya memiliki keterbatasan, Dick terus ada dengan setia melewati keseluruhan pertandingan itu.
Misteri Cinta Allah dalam Panggilan Hidup Orang Beriman
Siapakah Yesus di mata kebanyakan orang yang mengikuti Dia dan siapakah Dia sesungguhnya bagi para murid, sahabat-sahabat dekatNya yang setiap hari bersama Dia? Inilah sebuah pertanyaan tunggal yang Yesus ajukan kepada mereka. Sebuah pertanyaan yang kalau dijawab, akan menghasilkan tiga dimensi penting tentang panggilan sebagai sebuah misteri cinta yang sumbernya ada pada Allah sendiri.
Dan ketiga dimensi itu adalah : (1) Pengakuan akan peran vital Allah dalam panggilan – Yesus adalah Anak Allah; (2) Kelemahan manusiawi tak menghalangi Allah mewujudkan rencananya lewat orang yang dipanggil; dan (3) Komunitas penuh tantangan sebagai tempat hidupkan panggilan Allah.
Kalau kita amati dengan jeli kisah di atas ini, kita akan temukan juga tiga dimensi cinta dalam perjalanan hidup sang ayah dan sang anak itu. Bahwa ada sebuah pengorbanan yang rela diberikan seorang ayah terhadap anaknya yang sangat terbatas, karena ia punya cinta kasih yang begitu besar. Bahwa karena daya cinta itu begitu kuat, sang anak merasa dia disempurnakan (tak merasa cacat) dan bahwa persekutuan hidup keduanya menyanggupkan mereka berhasil dalam perlombaan (komunitas) yang penuh tantangan itu.
(1) Panggilan Hidup itu Bermula dari Cinta Allah - "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!"
Dimensi cinta Allah yang bisa kita temukan dalam panggilan kita pertama-tama ialah kenyataan bahwa panggilan itu berasal dari Allah yang mengasihi tanpa batas.
Pertanyaan Yesus kepada para murid tentang “siapakah diriNya sesungguhnya” adalah sebuah pertanyaan yang menghantar para murid untuk mengenal Dia secara sungguh mendalam. Mereka diminta untuk tidak hanya ‘ikut rame’ seperti kebanyakan orang yang tertarik menyaksikan berbagai karya ajaib yang dikerjakan olehNya. Mereka diminta untuk menemukan alasan mendalam ‘mengapa mereka mengikuti Dia?’
Dan setelah memberikan berbagai jawaban untuk menjelaskan berbagai pandangan orang tentang Dia, Petrus yang memang sudah dipandang sebagai juru bicara para murid menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”.
Dalam jawaban Petrus yang merupakan juga jawaban komunitas murid Yesus saat itu kita temukan jawaban yang tepat, karena menggambarkan siapa Yesus sesungguhnya. Dalam jawaban ini Petrus setuju dengan apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri sebelumnya dalam Mat 11, 25-27.[3]
Jawaban Petrus menegaskan tentang dua hal bahwa Yesus adalah alat di tangan Allah dan bahwa Yesus memiliki relasi yang erat dengan Allah. Sebuah penegasan bahwa Allah aktif, Allah berinisiatif, Allah memanggil, menciptakan dan menghidupkan. Jadi hidup dan karya Yesus sesungguhnya adalah untuk menjalankan kehendak dan maksud Allah.
Persis inilah yang menjadi inti bacaan pertama di atas, ketika Yohanes mengatakan, “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. [4]
Sang ayah dalam kisah di atas menerima sang anak dengan ketidaksempurnaan tubuh. Seorang ayah yang selalu mau berlari, berenang, mendaki, mendorong dan menarik tubuh sang anak untuk bersama melewati sebuah pertandingan dengan medan yang sangat berat dengan jarak dan waktu yang sangat lama. Seorang ayah yang menyatakan ia bersedia untuk bertanding bersama sang anak sekalipun ia tahu anaknya tidak dapat berbuat banyak. Seorang ayah yang tahu bahwa sang anakpun dapat bertahan dalam pertandingan itu, bahwa sang anak kuat untuk bertanding karena ada ayah disisinya yang dengan setia selalu bersamanya.
Ini sesungguhnya adalah gambaran Allah dalam panggilan kita semua. Dia panggil kita kendati tahu bahwa kita cacat. Dia rela berkorban untuk kita. Bapa yang kasihnya sangat besar sehingga kita dicintainya apa adanya. Bapa yang mau berjalan, berlari, mendaki, mendorong, menarik kita agar kita aman dan kuat. Bapa yang setia bersama kita saat kita senang, susah dan sakit. Ya, Bapa yang patut kita banggakan dan syukuri. Cintanya yang luar biasa selalu tersedia untuk kita. Jadi secara singkat bisa disimpulkan bahwa panggilan kita sesungguhnya bersumber dari Allah yang mencintai kita dengan sempurna. Cinta Allah yang demikian justru dialamatkan kepada kita karena tahu dengan pasti bahwa kita tak sempurna.
(2) Allah Menyempurnakan Orang yang Dipanggil – “sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga”
Hal kedua adalah berhubungan dengan orang yang dipanggil. Bahwa kenyataan kelemahan manusiawi orang yang dimiliki oleh orang yang dipanggil sama sekali tak membatalkan rencana Allah, tetapi memberi kemungkinan agar Allah menyempurnakannya. Namun dalam hal ini sikap aktif di hadapan Allah, berusaha menerimanya dan mengatasinya dengan maksimal juga diminta dari orang yang dipanggil.
Dalam dialog Injil tadi, kita menyaksikan bagaimana Petrus memiliki karakter ‘lebih’ yang dituntut itu. Kadang sekali Petrus terkesan tanpa pikir panjang, selalu mau di depan, dengan akibat bahwa jawaban atau tindakannya sering kali terlihat konyol. Tapi di atas segalanya, Petrus menunjukkan bagaimana ia memiliki komitmen dan perhatian kepada Yesus. Dan bukan kebetulan bahwa nanti ia dipilih untuk memimpin komunitas baru ini.
Reaksi Yesus terhadap jawaban yang ia berikan adalah sebuah pujian dan syukur penuh berkat, “berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga.”
Kelemahan manusiawi Petrus sama sekali tak berarti. Sekali lagi penekanan dikembalikan kepada peran Allah. Bahwa Allahlah yang membuat Petrus mengenal Yesus sebagai anakNya yang hidup, Allah yang sama itu sementara berkarya dalam diri Yesus yang memperkenalkan Yesus kepada komunitas murid melalui Petrus.
Dan karena Allah yang sedang berkarya di dalam diri Petrus inilah, dia mendapatkan peran baru, dia diubah menjadi seperti “wadas” dan di dalam Petruspun Allah bekerja untuk mewujudkan rencana cintaNya.
Rasanya adegan yang sama terulang juga dalam kisah di atas tadi. Bahwa si anak menyatakan bersedia untuk ikut bertanding dalam kondisinya yang cacat, sesungguhnya adalah sesuatu yang konyol. Tapi ia meminta untuk menjadi anggota satu tim dengan sang ayah. Dan peran si ayah yang tanpa pantang menyerah mengikutsertakan sang anak membangkitkan kesadaran dalam diri sang anak hingga ketika ditanya kesannya, dia berkata, “Aku merasa seperti aku tidak cacat, dan aku ingin sekali membiarkan ayah yang duduk di kursi roda ini dan aku yang berlari mendorong dan menariknya.” Daya juang dan semangat yang ditampakan sang ayah berpengaruh mengubah sang anak, menyempurnakannya, membuat dia mampu mengatasi kesulitannya.
Persis ini jugalah yang terjadi dalam panggilan kita. Inisiatip Allah memampukan kita untuk mengatasi kesulitan dan kelemahan, dan tanpa ragu orang bisa keluar dari kelemahannya dan membiarkan dirinya digunakan Allah. Dengan demikian yang kita jumpai dalam kenyataan ketika berhadapan dengan orang yang dipanggil bukanlah karena kita bertemu dengan orang yang sempurna tetapi orang yang dengan bantuan Allah mengalahkan kelemahannya demi maksud dan rencana Allah.
(3) Panggilan itu Dihidupkan dalam Komunitas yang Menantang – “Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya”
Dimensi ketiga berkaitan dengan panggilan sebagai misteri cinta Allah ialah bahwa panggilan itu berdimensi komunitas. Panggilan dihidupkan dalam dan melalui komunitas.
Tanpa kesadaran bahwa peran sang ayah bisa membantunya mengikuti perlombaan tadi, sang anak pasti tak akan melamar untuk mengikuti perlombaan. Menjadi “satu tim” dengan sang ayah, memampukan sang anak untuk meminta mengikuti perlombaan. Keduanya menjadi satu kesatuan, satu komunitas yang secara bersama-sama berjuang menyelesaikan lomba.
Penginjil Mateus tadi juga menyimpulkan tentang peran vital komunitas ini bagi kelangsungan hidup para murid yang mengikuti Yesus. Tahu bahwa Petrus dinaungi oleh kuasa Allah, Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku[5] dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."
Baik Petrus dan para murid sebagai orang yang dipanggil menjadi satu komunitas yang pendirinya tidak lain adalah Yesus sendiri. Komunitas orang terpanggil ini memiliki ciri khas khusus yakni pengakuan akan peran dan identitas Yesus dan memiliki komitmen terhadapNya.
Lebih lanjut Yesus juga menunjukkan bahwa komunitas yang demikian bukanlah komunitas yang sempurna, tetapi berjalan menuju kesempurnaan melalui tantangan dan kesulitan. Tetapi karena kuasa Allah menyertai komunitas ini, maka kesulitan macam apapun tak kan mungkin bisa menghancurkannya.
Dan sebagaimana komunitas yang terdiri dari manusia ini memiliki struktur kepemimpinannya, maka oleh Yesus Petrus diberikan kuasa untuk memelihara komunitas ini dan semua mereka yang hidup di dalamnya.
Demikianlah yang terjadi dalam panggilan hidup membiara yang kita hidupi. Panggilan yang bersumber dari cinta kasih Allah kepada masing-masing kita telah kita jawab dengan kesediaan untuk bekerjasama dengan rahmat Allah. Keputusan itu menghantar kita kepada komunitas hidup membiara. Komunitas ini dibangun bukan untuk kepentingan manusiawi belaka, tetapi dengan tujuan yang sesuai dengan rencana Allah, lengkap dengan struktur kepemimpinannya.
Komunitas hidup membiara bukanlah komunitas yang sempurna, tetapi komunitas yang diharuskan untuk mengenal, menyadari dan mengatasi konflik dan tantangan serta kesulitan. Kendatipun demikian, komunitas yang demikian dilengkapi dengan janji Yesus sendiri, bahwa alam maut sekalipun tak akan mampu membinasakannya.
Jadi kalau ada dan berhadapan dengan konflik dan tantangan dalam komunitas biara, itu adalah kenyataan yang mesti kita hidupi. Kenyataan yang mesti digeluti untuk diatasi seraya percaya bahwa janji Tuhan akan menghantar kita semua kepada kesempurnaan panggilan hidup kita.
Catatan :
[1] Lihat Yanthy Aquista, “Ayah yang Luar Biasa”, di P. Renungan http://www.%20pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=1522&next=0
[2] Perlombaan Triathlon yaitu semacam marathon dengan rupa-rupa olah raga seperti lari yang berjarak 26,2 mil, ditambah bersepeda sejauh 112 mil, serta berenang 2,4 mil. Belum lagi mereka harus mendaki gunung dan lain sebagainya. Total keseluruhannya sekitar 3,735 mil.
[3] Ketika Ia mengucap syukur kepada BapaNya, Yesus berkata pula, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat 11, 27). Jadi jawaban Petrus di atas adalah jawaban yang tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Yesus dalam Mat 11: 2-6, ketika Yohanes mengirim muridnya untuk bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu ataukah haruskah kami menunggu orang lain?”
[3] Ketika Ia mengucap syukur kepada BapaNya, Yesus berkata pula, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat 11, 27). Jadi jawaban Petrus di atas adalah jawaban yang tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Yesus dalam Mat 11: 2-6, ketika Yohanes mengirim muridnya untuk bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu ataukah haruskah kami menunggu orang lain?”
[4] Lihat 1 Yoh 4,9-10.
[5] Kata yang dipakai adalah “ekklesia” dari kitab Suci Septuaginta (LXX) yang berarti perkumpulan atau kongregasi/jemaat milik Allah.
Copyright © 10 Juni 2009 by Ansel Meo SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar