Renungan Ketiga
Dalam Injil kita diingatkan bahwa Yesus memang memanggil para muridNya baik pada waktu yang khusus maupun pada waktu lainnya yang kelihatan biasa. Jadi sepertinya, tak ada waktu yang pasti.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam hidup setiap orang, Yesus bisa saja masuk dan memanggilnya. Tetapi ketika datang saat itu, itulah saat yang pas, yang akan tetap mengesankan di benak orang yang dipanggil
Bacaan
Yoh 1, 35 – 44 : Murid-Murid Yesus yang Pertama
Kita sepakat untuk mengatakan bahwa panggilan Tuhan kepada kita merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak orang, waktu dan memiliki langkah-langkah atau tahapan. Tak ada seorangpun dari kita, maupun mereka yang ada sebelum kita, mengalami panggilan sebagai sesuatu yang telah jadi.
Ketika hari ini, kita dihadapkan dengan pertanyaan kapan dan bagaimana kita mengalami panggilan Tuhan, banyak di antara kita barangkali bingung. Kita ragu-ragu untuk menemukan “saat” atau “peristiwa” mana yang sungguh-sungguh kita kenal atau kita sadari sebagai saat/peristiwa kunci yang membuat kita banting stir dan memutuskan untuk mengikuti panggilan Tuhan.
Nah dalam momen seperti itu, seringkali seruan atau ajakan seseorang menjadi berarti. Mungkin juga kedekatan relasi berdasarkan hubungan keluarga memiliki perannya tersendiri. Kita menjadi sadar bahwa dalam proses yang demikian, kita akhirnya melihat bagaimana Tuhan berkarya, Tuhan menggerakkan dan kemudian memanggil serta mengutus orang yang dipanggilNya. Satu hal pasti, pengalaman tinggal bersama Dia adalah sebuah momen kunci yang memungkinkan suara dan kehendak Tuhan dikenal oleh orang yang dipanggilNya.
Mimpi seorang Teman[1]
Pater Tarsis Sigho SVD, seorang misionaris yang bekerja di Taiwan pernah mengisahkan cerita tentang mimpi temannya. Dia mengisahkan demikian:
“Seorang teman saya pernah berkisah tentang mimpinya bertemu Yesus. Baiklah kita dengarkan bersama bagaimana dia menceritakan mimpinya itu:
"Suatu malam saya bermimpi. Dalam mimpiku aku melihat Yesus membawa aku berjalan keliling. Karena tidak tahu arah tujuan perjalanan kami maka saya bertanya; 'Guru, di manakah Engkau tinggal?' Ia cuman berkata; 'Anda ingin melihat tempat di mana aku tinggal? Mari ikutilah aku.'
Ia membawa aku ke kamp pengungsi, di mana ada begitu banyak orang menanti penuh cemas butir-butir makanan buat mengisi perut mereka. Sambil menunjuk ke arah orang-orang tersebut Yesus berkata; 'Mereka semua mengingatkan saya akan masa pelarian saya dari Betlehem ke Mesir. Maria, ibuku sering bernostalgia tentang nasib pedih yang harus kami lalui di Mesir, suatu kehidupan di tanah asing tanpa identitas yang legal dan jelas seperti mereka ini. Ketahuilah, Aku tinggal di sini bersama mereka.'
Ia juga membawa saya ke Rumah sakit. Sekali lagi Ia berkata; 'Ketika memikul salibku ke Golgotha, aku mengalami nasib seperti mereka ini, menghadapi hidup yang seakan tanpa harapan. Masih ingatkah engkau ketika saya berteriak di Taman Zaitun meminta agar piala kepahitan itu beralih dari padaku? Aku yakin merekapun sering mengulangi lagi teriakanKu itu. Ketahuilah, saya juga ada di sini bersama mereka. Mereka tidak sendirian.'
Yesus lalu membawa saya ke sebuah pabrik di mana ada banyak karyawan bekerja dan berkata; 'Mereka kadang-kadang diperlakukan secara tidak adil oleh majikan mereka. Mereka kerap kali harus bekerja lembur tanpa gaji yang serasi. Mereka mengingatkan kehidupanku sendiri yang harus bekerja sebagai tukang kayu, yang harus bekerja seperti seorang buruh kasar. Ketahuilah, akupun ada di sini bersama mereka.'
Kami tiba di sebuah gereja yang megah dengan tabernakel yang indah, seindah surga itu sendiri. (Hahaha... Siapa sih yang pernah melihat surga?). Banyak orang keluar dan masuk gereja ini untuk memasang lilin dan berdoa di sana. Yesus lalu bergumam; 'Saya juga hidup di sini. Tapi sayangnya, banyak orang mau agar saya dikandangkan di tabernakel ini hanya untuk dikeluarkan seminggu atau beberapa minggu sekali.' KataNya dengan wajah sedih.
Namun tiba-tiba air mukaNya berubah cerah dan berkata dengan penuh antusias; 'Tahukah engkau? Ada satu tempat di mana saya belum pernah pergi.' Ia mengangkat sesuatu seperti selembar foto dan ditunjukannya ke arahku. Oh...ternyata itu adalah sebuah cermin dan saya melihat bayangan diriku sendiri di dalamnya. Ia lalu bertanya; 'Apakah engkau memiliki kunci untuk masuk ke ruangan yang baru saja kamu lihat? Aku ingin masuk dan tinggal di sana walau hanya cuman sebentar saja.'" Temanku seakan diliputi rasa sedih ketika menyelesaikan kisah mimpinya tersebut.
***
Cuma sebuah mimpi memang. Tapi teman dalam cerita ini kemudian bangun dan berlutut sembari berdoa, “Tuhan..!!! Bantulah aku untuk membuka pintu hatiku bagimu. Lebih dari itu, bantulah aku untuk mengetahui bahwa Engkau sesungguhnya telah ada di dasar bathinku dan menantikan kehadiranku di sana.”
Tuhan selalu Menantikan Kehadiran Setiap Kita
Tuhan menantikan kita. Barangkali inilah lukisan yang pas untuk menggambarkan tentang proses panggilan kita masing-masing. Lukisan ini saya gunakan untuk sekedar mengingatkan kita bahwa bukan kita yang pertama-tama ingin mengenal Tuhan lalu memutuskan untuk mengikuti Dia, tetapi sebaliknya. Tuhanlah yang pertama-tama mau mengenal kita, dan dengan caraNya sendiri Ia sabar menantikan kapan kita menyadari bahwa Dia ada di bathin kita.
Dari kisah mimpi sahabat kita di atas dan bacaan Injil yang kita gunakan untuk permenungan ini, kita bisa menemukan peneguhan bahwa sesungguhnya panggilan itu adalah proses untuk mengenal bahwa Tuhan menantikan kehadiran kita di hadapanNya.
Dan sebagai sebuah proses yang melibatkan banyak waktu dan berbagai cara, panggilan setiap kita mengandaikan dua hal ini: (1) kepekaan untuk mengenal kehadiran Tuhan dalam peristiwa hidup, dan (2) kerelaan untuk tinggal bersama Dia dan belajar daripadaNya.
(1). Mengasah Kepekaan untuk Mengenal Kehadiran Tuhan
Mengasah kepekaan untuk mengenal barangkali adalah satu ketrampilan paling mendasar yang dilatih sejak manusia berusia sangat muda. Sejak masa kecil kita, kita sudah dilatih untuk mengenal, entah itu orang, suara, lingkungan dan bahkan pengetahuan. Dan bukan tidak mungkin, banyak dari kita yang sudah dilatih juga untuk mengenal yang namanya Tuhan sejak kita berusia sangat muda.
Penginjil Yohanes tadi menyinggung bagaimana Yohanes Pemandi menunjukkan atau memperkenalkan Yesus kepada muridnya sendiri, dengan mengatakan “Lihatlah Anak Domba Allah!” Seruan ini dikenal sangat baik oleh mereka yang selama hidupnya selalu mencari Tuhan. Itulah sebabnya, kedua murid Yohanes itu langsung beralih kepada Yesus, karena Dialah sesungguhnya subyek yang tengah dicari mereka sebagai Murid.
Lebih dari itu, pertanyaan mereka, “Guru di manakah Engkau tinggal?” sekali lagi mengkonfirmasikan bahwa ada keinginan yang besar dari pihak mereka untuk mengenal Yesus secara lebih dekat. Dan Injil mengungkapkan bahwa hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia.
Selain pertemuan dengan kedua murid Yohanes, Injil tadi juga mengisahkan tentang pertemuan Yesus dengan murid-murid yang lain. Mereka semua bukanlah kelompok orang yang barusan mengenal Yesus. Mereka pasti termasuk dari kelompok yang dinamakan “sisa kecil Israel”, yang bersama orang seperti Maria, ibu Yesus, setia menantikan kedatangan Mesias, sang Pembebas. Mereka dipersiapkan untuk bisa mengenal Dia ketika Dia dinyatakan kepada publik.
Kisah dalam mimpi di atas sedikit banyak membantu kita ke arah ini. Lebih dari itu, aktor utama yang digaris-bawahi yakni Tuhan Yesus sendiri, yang beraksi untuk menghantar orang yang dikehendakiNya kepada pengenalan akan diriNya.
Dalam tahapan panggilan hidup setiap kita, kepekaan untuk mengenal Tuhan yang memanggil kita adalah satu proses yang melibatkan banyak waktu dan cara. Barangkali ada dari kita yang memiliki orang seperti Yohanes yang berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah!”. Sedang yang lain memiliki seorang saudara atau saudari yang mengatakan seperti Andreas, “Kami telah menemukan Mesias!”.
Kapan dan bagaimana hal itu terjadi merupakan sebuah misteri yang ada dalam Allah yang memanggil kita. Dan memang bermula dari tindakan Allah sendiri. Yang dituntut dari kita ialah terus-menerus mengasah kemampuan untuk mengenal Dia yang memanggil. Kebiasaan ini bukanlah tindakan yang perlu di saat kita membuat retret seperti ini, tetapi satu ketrampilan yang mesti selalu dikembangkan sepanjang kehidupan kita. Dan ketrampilan yang demikian adalah ketrampilan dasariah yang mutlak dimiliki oleh mereka yang mau menjawab panggilan Tuhan.
Bagaimanakah ketrampilan itu bisa diasah secara terus menerus? Kapankah saat yang tepat untuk mengasah ketrampilan yang demikian? Thomas Merton pernah menulis dalam meditasi hariannya demikian, “Orang yang takut untuk berada sendirian, tak akan mampu menjadi apapun tetapi selalu mengalami kesepian, tak peduli bahwa dia dikelilingi oleh banyak orang. Tetapi orang yang belajar dalam ketenangan dan mengingat segala sesuatu, yang berdamai dengan kesendiriannya, dia sesungguhnya tahu bahwa Allah menyertainya secara tak kelihatan. Orang seperti ini ada selalu bersama Allah pada setiap tempat, dan dia juga menikmati bagaimana dia ditemani banyak orang. Karena dia mencintai mereka di dalam Allah.”[2]
Jadi menyendiri sambil sadar bahwa Tuhan sedang menyertai kita adalah satu ketrampilan yang sangat diperlukan untuk mengenal kehadiran Allah. Dan ketrampilan ini diperlukan oleh mereka yang terpanggil untuk menjawabi panggilan khusus dari Tuhan. Seorang yang dipanggil hendaknya menjadi orang yang mudah mengenal kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup, dengan cara apapun dan kapanpun.
(2). Kerinduan dan Kesediaan untuk Tinggal Bersama Dia
Pemahaman akan panggilan sebagai proses mengandaikan juga kerinduan dan kesediaan untuk tinggal selalu bersama Allah.
Baik kisah tentang mimpi seorang teman di atas maupun kisah Injil menyiratkan satu tendensi yang sama yakni keinginan untuk tinggal bersama Allah. Tetapi apa maksudnya “tinggal bersama Dia”? Dan mengapa tinggal bersama begitu penting di mata murid yang bertanya ‘Guru di mana Engkau tinggal’?
Menarik memang untuk memperhatikan bahwa penginjil tadi tak bicara tentang apa yang dikatakan selama mereka tinggal bersama, apa yang mereka buat. Karena bagi penginjil tinggal bersama Yesus itulah satu-satunya yang penting. Untuk murid Yesus yang terpenting adalah menemukan di mana Yesus tinggal dan untuk menemukannya mereka harus pergi dan tinggal bersama Dia.
Tinggal bersama Yesus memang sangat penting bagi murid Yesus. Hal ini mendapatkan peneguhannya kemudian ketika Yesus berdoa bagi para muridNya.[3] Jadi untuk tinggal bersama Yesus, para murid harus pertama-tama mengikuti Dia. Dan mengikuti Dia saja sudah merupakan jalan definitif untuk tinggal bersama Dia.
Bagaimana cara tinggal bersama Dia? Panggilan hidup membiara menekankan lebih lanjut, bahwa kita tinggal bersama Dia dalam kemiskinan, tinggal dengan Dia dalam ketaatan, tinggal dengan dengan kerendahan hati, dengan keadilan dan kemurahan hati.
Bila tinggal bersama Yesus adalah sikap dasar murid Yesus, maka dalam doa dan berbagai aktivitas kita sehari-hari hendaknya dimulai dengan pertanyaan “Guru, di mana Engkau tinggal?” Dan atas undanganNya, kehidupan membiara kita menjadi kesempatan di mana kita belajar berada bersama Dia dan kesempatan untuk mengerjakan segala sesuatu seperti Dia melakukanNya.
Catatan :
[1] Tarsis Sigho SVD, Tuhan, di manakah Engkau tinggal?” site http://www.pondokrenungan. com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=1505&next=0
[2] Thomas Merton, Blaze of Recognition, Through the Year with Thomas Merton: Daily Meditations, selected and edited by Thomas P. McDonnell. New York: Doubleday&Comp. Inc. 1983, 33.
[3] Yoh 17, Yesus berdoa kepada BapaNya: “Engkau di dalam Aku dan Aku di dalam mereka.” Jadi inilah tempat tinggal Yesus. Ada di dalam Bapa dan ada di dalam kita.
[2] Thomas Merton, Blaze of Recognition, Through the Year with Thomas Merton: Daily Meditations, selected and edited by Thomas P. McDonnell. New York: Doubleday&Comp. Inc. 1983, 33.
[3] Yoh 17, Yesus berdoa kepada BapaNya: “Engkau di dalam Aku dan Aku di dalam mereka.” Jadi inilah tempat tinggal Yesus. Ada di dalam Bapa dan ada di dalam kita.
Copyright © 18 Juni 2009, by Ansel Meo SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar