SAPAAN PENGASUH


Selamat bertemu buat para pembaca dan pengunjung blog ini. Kiranya Tuhan kita Yesus Kristus, yang memanggil kita semua kepada kesempurnaan hidup dalam Bapa dan kekayaan rohani dalam KerajaanNya menganugerahkan kegembiraan dan kesuksesan dalam hidup, pelayanan dan keseharianmu.

Anda mengunjungi blog RETRET & REKOLEKSI PASTOR UDIK. Saya suka nama itu, bukan saja karena karya pastoral awal saya sebagai imam, saya lewati sambil mengunjungi berbagai kampung yang sering dicap udik alias kurang maju, tetapi juga karena mengingatkan saya, akan Yesus dari Nasareth, pastor dan gembala sejati yang para muridnya adalah orang-orang sederhana, udik dan marginal.

Apa ada persamaan di antara kita yang mengunjungi blog ini dengan para murid Yesus itu? Saya kira ada dan hal itu adalah kesediaan kita untuk duduk sambil mendengarkan DIA, sang Guru Rohani, Maestro Kehidupan yang tengah bersabda kepada kita.

Selamat menikmati sajian di blog sederhana ini. Selamat menarik diri dari keseharianmu dan menikmati detik-detik berharga berada sang Guru, Pastor dan Gembala dari udik, mulai dari Nasareth hingga ke kampung dan dusun udik pengalaman kita.

Kiranya Tuhan memberkati kita.

Ansel Meo SVD

Sabtu, September 19, 2009

39. Memperoleh Kehidupan yang Kekal

Renungan Keempat

Bacaan :
Mt 19: 16-22 : Orang Muda yang Kaya

Renungan


Pertemuan antara orang muda yang sangat kaya ini dengan Yesus sebenarnya adalah suatu pertemuan yang dapat mengubah hidup si pemuda. Namun kenyataannya, di akhir Injil ini dikatakan bahwa orang muda itu gagal mengubah hidupnya, oleh karena banyak harta yang dimilikinya.


Kita tentu bertanya, apakah kiranya yang menjadi soal pokok yang ditampilkan dalam Injil ini? Apakah orang muda itu memang peduli dengan apa yang ditanyakannya kepada Yesus yakni soal hidup kekal ataukah ia sedang mencari pembenaran atas apa yang tengah dipraktekannya selama hidupnya?

Kelihatannya hal kedualah yang menjadi motivasinya, bahwa ia tengah mencari pengakuan atas praktek keagamaan yang sementara dibuatnya. Itulah yang menjadi alasan kenapa Yesus langsung menunjuk pada persoalan, “"Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik (yakni Allah sendiri).[1] ... dan karena itu, turutilah segala perintahNya.”


Bagaimana reaksinya? Dia malah balik bertanya, “Perintah yang mana?” dengan kesan seolah meremehkan tantangan Yesus. ... “Saya sudah melaksanakan semuanya!” demikian ia memperkenalkan dirinya kepada Yesus.


Jawaban ini sebenarnya melawan apa yang Yesus katakan kepadanya bahwa “hanya Satu saja yang baik yakni Allah”. Ia sedang mengatakan pada Yesus bahwa ia juga adalah orang yang “baik” seperti halnya Allah.


Walaupun dia mengklaim dirinya sebagai baik, tetapi ia sejujurnya tengah mengatakan kepada Yesus, bahwa ada yang kurang padanya. Pelaksanaan perintah Allah terasa tak cukup menjadi jaminan baginya untuk masuk kepada hidup yang sementara Yesus wartakan.


Nah... di sinilah jawaban Yesus diberikan kepadanya, yang sekaligus menjadi satu alasan mengapa Yesus memanggil para murid kepadaNya. Katanya kepada orang muda itu, “Jika engkau ingin menjadi sempurna, maka ....” Menjadi sempurna adalah sinonim dengan “memiliki kehidupan yang kekal (19,16) dan “memasuki hidup” (19,17) yang berarti meniru sikap Allah sendiri, yang mencintai bukan demi keuntungan bagi diri sendiri.

Makan Siang Bersama Tuhan


Julie A. Manhan[2] pernah mengisahkan kisah berikut ini kepada Pondok Renungan.

Ada seorang anak yang rindu bertemu dengan Tuhannya. Ia menyadari bahwa perjalanan panjang diperlukan ke rumah Tuhan, karena itu dikemaslah tasnya dengan kue Twinkies dan satu pack root beer berisi 6 kaleng lalu memulaikan perjalanannya.

Ketika telah melampaui beberapa blok dari rumahnya, ia bertemu dengan seorang tua. Ia sedang duduk di taman dekat air memperhatikan burung burung. Sang anak duduk dekat dengannya lalu membuka tas. Ketika ia mengambil root beer (bir tidak beralkohol) untuk melepaskan dahaganya ia perhatikan bahwa orang tua itu kelihatan lapar sedang memandang padanya. Dengan segera ia menawarkan kue Twinkie kepada orang tua itu.


Dengan gembira ia menerima dan memberikan senyum padanya. Senyum itu luarbiasa menarik sehingga anak ini senang untuk menikmatinya lagi. Itu sebabnya anak ini menawarkan lagi kepada orang tua itu sekaleng root beer. Sekali lagi, ia tersenyum kepadanya. Anak ini sangat gembira! Sepanjang petang mereka duduk disana, makan dan tersenyum, tanpa mengeluarkan sepatah kata.


Ketika malam turun, anak ini merasa lelah, ia berdiri untuk meninggalkan tempat itu, namun sebelum ia melangkahkan kakinya, ia berbalik dan lari ke orang tua itu dan memberikan sebuah pelukan. Orang tua itu memberikan senyumnya yang lebar.


Ketika anak ini membuka pintu rumahnya beberapa waktu kemudian, ibunya terkejut melihat kegembiraan memancar di wajah anaknya. Ia bertanya: Apa yang terjadi hari ini sehingga membuat kamu begitu senang? Sang anak menjawab: "Saya berkesempatan makan siang bersama Tuhan".


Dan sebelum ibu memberikan responsnya, anak ini menambahkan: " Ibu, Ibu tahu senyumnya, itulah senyum paling indah yang pernah saya lihat". Sementara itu, si orang tua, juga penuh dengan kegembiraan, pulang kerumahnya. Anaknya terpesona melihat kedamaian memancar diwajahnya dan bertanya: "Ayah, apa yang terjadi hari ini membuat kamu sangat bergembira?
Ia menjawab: "Saya makan Kue Twinkies di taman bersama Tuhan". Dan sebelum anaknya merespon, ia menambahkan: "Kamu tahu, Dia lebih muda dari yang saya duga."
***
Kita Dipanggil untuk Mengubah Hidup sebagaimana Tuhan Menghendakinya.

Kisah kecil ini memang mengingatkan kita bahwa terlalu sering kita menganggap remeh kuasa dalam senyum, jamahan, kata-kata yang baik, telinga yang mendengar, pemberian yang tulus atau perhatian-perhatian kecil. Padahal semua itu berpotensi membuat kehidupan seseorang menjadi istimewa atau bahkan merubah kehidupan seseorang.

Nah, kita bertanya sekarang, untuk apa seorang dipanggil Tuhan? Untuk apa Tuhan memanggil seseorang? Untuk membenarkan dirinya dan membanggakan segala yang dibuatnya ataukah untuk mengubah hidup sebagaimana Tuhan menghendakinya?

Si pemuda kaya tadi diminta Yesus untuk melakukan empat hal, agar hidupnya berubah sebagaimana Tuhan menghendakinya. Dan keempat hal itu adalah: (1) pergilah, (2) juallah segala milikmu, (3) berikanlah kepada orang miskin, dan (4) datanglah mengikuti Aku!

Inilah jalan untuk memiliki hidup sejati. Inilah cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Inilah syarat untuk memasuki hidup bersama Allah, hidup yang kekal yang dijanjikan bagi semua yang menjadi murid Yesus.

1. Pergilah : Melepaskan keterikatan dari kuasa kejahatan

Dalam Injil Yesus sering sekali mengatakan “Pergilah!”, sebuah seruan yang penuh kuasa, terutama berhadapan dengan kekuatan roh jahat, penyakit, dosa dan juga bentuk-bentuk penjajahan. Kata Yesus ‘pergilah’ di sini juga punya efek yang sama atas si pemuda kaya ini.

Jika saja si pemuda kaya ini mentaatinya, maka ia akan dapat mengatasi kekuatan si jahat yang telah melekat erat dalam prakteknya mendatangkan kekayaan bagi dirinya selama itu. Andaikan saja ia mengikuti sabda Yesus, dia akan disembuhkan dari kerakusannya untuk mengumpulkan harta dengan cara terus menindas orang yang miskin. Bila saja ia mentaati sabda Yesus ini, ia tentunya bisa memperbaiki struktur sosial masyarakat yang didominasi penjajahan Roma waktu itu.

Tapi nyatanya, dia tidak melaksanakan ajakan Yesus. Ia menolak kehidupan baru yang ditawarkan Yesus kepadanya. Ia menolak kehidupan kekal.

Panggilan setiap kita adalah sebuah keputusan untuk mengikuti ajakan Yesus ‘pergilah’. Orang yang dipanggil memang harus meninggalkan ikatan lama, dan menyatakan kesediaannya untuk bersama Yesus mengubah hidup. Kisah anak kecil tadi menunjukkan bahwa gerakan hati untuk pergi bertemu dengan Tuhan, mempengaruhi cara pandangnya terhadap kenyataan di sekitarnya. Yesus memanggil kita agar kita bersedia untuk menjadi sarana untuk mempertemukan sesama kita dengan Tuhan dan kita sendiri denganNya.

2. Juallah segala milikmu : Peringatan untuk tidak diperhamba oleh kekayaan

Perintah untuk menjual harta milik untuk mengikuti Yesus, memang tidak dialamatkan kepada semua murid. Petrus, Andreas, Yohanes dan Yakobus memang meninggalkan keluarga dan bisnis mereka tetapi mereka tak menjualnya (bdk Mt 4, 18-22). Matius meninggalkan kantornya.

Jadi Yesus tidak memandang bahwa kaya itu suatu kejahatan. Orang muda ini diminta untuk menjual hartanya, karena bagi dia kekayaan adalah sesuatu yang serius. Ia menjadi hamba kekayaannya. Kekayaan di sini termasuk rumahnya sendiri yang menjadi simbol status dan kehormatannya. Rumah bagi orang kaya ini adalah simbol di mana ia mengontrol semua orang yang ada di bawah kuasanya. Itulah sebabnya Yesus meminta dia untuk melepaskan dengan cara menjual semuanya.

Ternyata dia tak bisa melakukannya, karena baginya kekayaannya, status sosialnya dan reputasinya adalah segalanya. Keterikatan terhadap hal-hal ini membelenggu dia.

Persis hal yang bertolak belakang dengan sikap anak dalam kisah tadi. Kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan telah membuat anak ini menyiapkan kemungkinan untuk melepaskan dan membagikan apa yang dimilikinya dengan Tuhan. Dan dalam pandangan yang demikian, ia menjadi bebas. Ia membagikannya dengan bapak tua di taman itu.

Hasilnya, kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan oleh keduanya dan orang yang hidup bersama mereka. Mereka menemukan Tuhan dalam sesamanya.

Panggilan kita mengharuskan kita untuk melepaskan keterikatan kita kepada harta milik dan menjadi bebas untuk membagikannya dengan orang lain yang membutuhkan. Itulah jalan untuk bertemu dengan Tuhan. Itulah jalan untuk melayani Dia.

3. Berikanlah kepada orang miskin : Mengubah struktur masyarakat menjadi lebih adil

Ini adalah tindakan dan sikap tobat. Orang miskin di sini adalah mereka yang secara fisik memang miskin, tak memiliki sumber-sumber pendapatan, mereka yang dieksploitasi dan ditindas oleh orang yang kaya, yang satu di antaranya adalah orang kaya yang datang kepada Yesus ini.

Memberikan kepada orang miskin sebagaimana diminta Yesus bukanlah berarti meminjamkan sesuatu kepada mereka, tetapi memberikannya karena kesadaran bahwa dari merekalah harta itu telah diambil secara paksa oleh si kaya. Memberikan kepada si miskin adalah cara untuk memperbaharui struktur sosial yang tak adil, suatu tindakan yang mewujudkan karya Allah yang memberikan keadilan kepada yang membutuhkannya.

Si anak dalam kisah tadi, ketika menyantap bekalnya, langsung melihat bahwa si tua yang miskin itu tak memiliki apa-apa. Ia tanpa pikir panjang menyerahkan bagiannya buat si miskin. Dia menjembatani kenyataan perbedaan kelas sosial di antara mereka. Dan karena itulah keduanya sama-sama sebenarnya mengalami YUBILEUM, ketika Allah menjadi pembebas mereka. Mereka menemukan Tuhan dalam saudara mereka.

Begitulah yang seharusnya terjadi di antara mereka yang mengikuti panggilan Tuhan. Panggilan hidup khusus seperti hanya hidup membiara adalah satu cara hidup yang menonjolkan semangat keadilan, semangat berbagi dalam kekurangan, semangat untuk mendahulukan yang miskin, yang tertindas dan terpinggirkan.

Adalah satu perjuangan bagi orang yang terpanggil untuk mengembalikan struktur masyarakat menjadi satu struktur yang mempromosikan keadilan sosial, di mana semua mendapatkan nafkah kehidupan, semua mendapatkan perlakuan sosial yang sama, di mana anggotanya tidak lagi menjadi penjajah bagi saudara-saudaranya.

4. Datanglah mengikuti Aku : Menjadi alat yang menghadirkan Allah yang menghidupkan.

Ajakan untuk datang dan mengikuti Yesus yang dialamatkan Yesus kepada si pemuda kaya ini, sebenarnya adalah sebuah ajakan untuk memasuki suatu relasi dan hubungan baru dengan Dia yang adalah alat yang memanifestasikan kuasa Allah yang menyelamatkan.

Lebih dari itu ajakan ini adalah undangan untuk memasuki kehidupan eskatologis yang berada di dalam kontrol Yesus sendiri. Dan memasuki hidup akhirat ini hanya bisa melalui panggilan menjadi murid Yesus.

Jadi bila ia menjawabi undangan ini, sesungguhnya ia memasuki suatu relasi sosial yang baru. Panggilan itu karenanya berarti bergabung dalam komunitas yang baru (Mat 4,18-22), suatu komunitas orang-orang yang marginal dan terpinggirkan (Mat 19, 1-15), suatu komunitas anak-anak Allah, yang tak berdasarkan pada kelahiran, jenis kelamin, tetapi karena kerinduan untuk melaksanakan kehendak Allah.

Komunitas yang demikian adalah komunitas yang mempraktekan keadilan dalam arti ekonomis, serta memiliki pola interaksi sosial yang baik.

Inilah yang terjadi dalam kisah antara anak kecil dan si bapa yang miskin tadi. Dan pola hubungan inilah yang sesungguhnya coba dihidupkan dalam kehidupan religius.

Catatan :

[1] Dalam kitab Micha 6, 8 Allah menyatakan apa sebenarnya yang baik itu, yakni :” melaksanakan keadilan, mencintai dengan tulus dan berjalan dengan rendah hati di hadapan Allah.”

[2] Julie A. Manhan, “Makan Siang Bersama Tuhan”, Cerita Iman, http://www.%20pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Cerita&table=isi&id=391&next=150.

Copyright © 10 Juni 2009, by Ansel Meo SVD




Tidak ada komentar: